Sejenak

106 7 2
                                    

Aurora atau yang lebih sering dipanggil Ara tidak pernah tau sejak kapan gelar bodoh tersemat di namanya, yang jelas setiap kali jantungnya bergemuruh dengan rasa khawatir dan kakinya tanpa sadar bergerak dengan begitu cepat menuju seseorang, panggilan itu akan disematkan teman-temannya padanya.

Begitupun dengan hari ini, ketika ia memilih buru-buru pamit saat panggilan seseorang dengan surah lirih menyapu pendengarannya. Langkahnya yang terburu pada akhirnya mempertemukan Ara dengan sosok Rasi yang sudah menunggu di balik pagar tempat kerjanya.

Biasanya hanya ada dua cetak wajah yang akan dilihat Ara ketika panggilan darurat dari Rasi terjadi, sisa amarah luar biasa yang sudah ia ledakan, atau rasa sedih tak terhitung yang coba ia sembunyikan.

Untuk hari ini yang tercetak di wajah Rasi adalah pilihan yang kedua. Membuat nuansa kelabu seakan bisa tertular pada Ara, rasa sedih itu hadir tanpa aba-aba.

Untung saja kehadiran langkah kaki Ara yang masih terasa bergetar setelah menuruni beberapa anak tangga dan melewati pelataran kantornya yang cukup luas membuat ujung bibir Rasi terangkat sedikit, seolah ingin menyamarkan kelabu itu, namun sayangnya tidak sedikitpun bisa mengusir kesedihan yang jelas tergambarkan lewat dua bola matanya.

Ara tak banyak bertanya. Ia lebih memilih membiarkan tangan Rasi meraih dan menggiringnya masuk kedalam mobil. Dengan deru nafas menggebu yang mulai menghilang, Ara membiarkan Rasi untuk membawanya pergi, lari dari masalahnya.

Tak apa untuk 'sejenak'. Begitu pikir Ara.

Tapi kata sejenak itu nyatanya sudah berulang puluhan kali, sampai Ara kekurangan jemari tangan until menghitungnya. 'Sejenak' itu hadir setiap Rasi hadir tiba-tiba mengetuk harinya, tiba-tiba muncul seperti hujan di pertengahan musim kemarau yang tak pernah bisa Ara perkirakan. Yang hadir begitu saja dengan kurang ajarnya tanpa pernah mau tau apa yang sedang terjadi pada hidupnya.

"Mau hujan, Ra. Kamu kan nggak suka hujan, jadi ayo pergi ketempat yang nggak ada hujannya" Ucap Rasi di tengah keseriusannya mengemudi.

Ara bisa apa? Setiap 'sejenak' itu dibawa Rasi kehadapannya, Ara tak pernah punya pilihan. Jangankan kabur atau menghindar, Kalaupun ada yang namanya pilihan mungkin Ara tak akan memilih apapun dan tetap mengikuti bagaimana Rasi menggiringnya. Karena menurut Ara, 'sejenak' milik Rasi adalah 'Sejenak' miliknya juga. Ketika Rasi ingin 'sejenak' untuk kabur dari masalah hidupnya, maka itu menjadi 'sejenak' untuk Ara berada di sisi Rasi, menjadi satu-satunya orang yang ia butuhkan.

Kalau hidup Rasi adalah sebuah lubang hitam, maka bisa di bilang Ara sendirilah yang dengan senang hati masuk kedalamnya. Membiarkan Rasi dan masalahnya menenggelamkannya begitu saja. Walaupun itu sama saja dengan manghapus eksistensi Ara dalam dunianya sendiri.

Dan ketika 'sejenak' itu undur diri bersama kehadiran Rasi, Ara tak akan sedikitpun menyuarakan protes, penyesalan maupun berhak merasakan kesedihan. Karena ketika dulu kali kedua 'sejenak' itu hadir dan Ara memilih untuk mengikuti bagaimana langkah Rasi bergulir, saat itulah tanpa sadar Ara berikrar untuk selalu hadir di setiap 'sejenak' milik Rasi.

"Sampai kapan ya Ra, gue merasa asing berada di tempat yang kata orang jadi tempat ternyaman untuk pulang? Rumah makin kerasa asing buat gue, mau sesering apapun gue pulang" Tanya Rasi ketika sudah menepikan mobilnya setelah berkendara berjam-jam lamanya sampai ke tempat di mana mereka bisa melihat bagaimana kelabu berada di bawah pandangan mereka.

"Lo tau, kata orang-orang juga, tempat dimana lo lahir dan tumbuh nggak selalu harus jadi Rumah untuk lo pulang, Ras. Karena Rumah sebenernya adalah tempat dimana lo bisa jadi diri sendiri, tempat lo bisa ngerasa bahagia dan ngelepasin beban di bahu lo. Bukan tempat yang justru bikin lo mengerasa lelah sama hidup" Balas Ara sambil menurunkan jendela disisinya, membiarkan semilir angin yang berhembus cukup dingin masuk dan mengganti udara di dalam roda empat itu.

"Jadi kita sama ajakan? sama-sama nggak punya Rumah dalam artian sebenarnyakan, Ra?"

Ara tersenyum mendengar tanggapan yang keluar dari mulut Rasi, terlantun getir namun dibalut dengan sebuah senyum miring di wajahnya.

"Gue punya, Ras. Rumah itu bikin gue nyaman, bikin gue selalu pengen pulang. Cuman sayangnya kadang gue benci dengan gimana cara rumah itu membentuk gue yang sekarang. Sekaligus bikin gue kadang benci sama diri sendiri. Gue punya rumah tapi kehilangan diri gue sendiri di sana" Terang Ara dengan nada suara sedikit tercekat, membuat pernyataanya terlantun semakin lirih dan Rasi jelas bisa melihat sesuatu yang tak pernah Ara tunjukan pada orang lain.

"Nggak kedengeran keren-keren banget, tapi kayaknya mending rumah gue kan di banding punya lo?" Tanya Ara sarkas, tapi Rasi tau pertanyaan itu dilantunkan hanya untuk bercanda, meskipun sesungguhnya ketara sekali ada kelabu dalam pertanyaan sederhana itu.

Dan kenyataannya, pernyataan Ara mampu menghadirkan sedikit tawa keluar dari mulut Rasi. Meski Ara tau tawa itu bukan disuarakan untuk menanggapi candaannya, tapi untuk menertawakan fakta samar yang disampaikan Ara, bahwa Rasi kalah dalam takdir yang digoreskan Tuhan untuk masalah yang satu ini. Padahal di sisi lain Ara sendiri tidak sedikitpun memandang posisinya jauh lebih baik dari Rasi.

Ara dan Rasi itu sama saja. Mereka berdua masih dibiarkan Tuhan untuk berdiam dalam satu pertanyaan soal definisi rumah untuk diri mereka masing-masing. Mereka masih ditempatkan di tengah ketersesatan, kesulitan mencari arah untuk keluar dan jawaban. Yang lucunya justru membuat mereka bertemu satu sama lain, sampai bisa membuat mereka merasa bahwa ketersesatan itu ternyata tidaklah terlalu buruk.

 Yang lucunya justru membuat mereka bertemu satu sama lain, sampai bisa membuat mereka merasa bahwa ketersesatan itu ternyata tidaklah terlalu buruk

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
Orbitحيث تعيش القصص. اكتشف الآن