Part 8 - Bayangan Hitam

201 63 153
                                    

Hay gaes, ketemu lagi sama cerita ini.

Siapa yang kangen sama Binar?

Absen dulu yuk?

Kalian tipe orang yang mudah percaya sama orang lain nggak?

Atau sama orang yang baru dikenal beberapa hari?

Definisi bahagia menurut kalian apa sih?

Happy Reading

🍁🍁🍁
Rindu pada seseorang yang tidak akan pernah kembali itu bukan hanya menyiksa, tapi juga meluka.
🍁🍁🍁

Angin malam terasa kencang, membuat korden jendela terombang-ambing tak tentu arah. Dinginnya menusuk hingga ke tulang.

Binar menyibak selimutnya, turun dari ranjang perlahan. Dengan kaki telanjangnya  berjalan menuju jendela. Binar menutup jendela kamar yang sedikit terbuka. Bibirnya mengukir senyum, melihat rembulan yang berbaur dengan bintang di langit sana.

"Seneng, ya, jadi bulan. Temennya banyak di atas sana. Sedangkan gue, cuma lara yang ada." Binar diam sejenak. "Meskipun bulan mendapat sinarnya dari matahari, tapi tetap saja digemari. Sedangkan gue, cuma mendapat kehidupan yang sering menyakiti hati, sering merasa sendiri."

Tiba-tiba senyumnya memudar. Memikirkan kejadian beberapa hari lalu yang menimpanya.

Binar mengembuskan napas kasar. "Gak di rumah gak di sekolah, gue tetep aja merasa sepi. Kata orang ... rumah itu tempat yang paling aman untuk berlindung anaknya. Tapi bagi gue, rumah adalah tempat yang paling sering menggoreskan luka-luka."

"Ayah, Binar kangen." Iris matanya memandang lurus salah satu bintang yang paling bersinar terang di langit sana. Dulu waktu  Binar merindukan ayahnya saat ia tinggal di panti, ibu panti bilang jika orang yang sudah tiada akan menjadi bintang yang paling terang di langit. Binar yakin, jika di atas sana, ayahnya bisa melihat dan mendengar perkataannya.

"Binar, kamu sedang apa?"

"Eh, Papa." Binar menutup gordennya, berjalan mendekat pada Ferdi. "Binar habis nutup jendela, Pa. Terus lihat pemandangan malam yang indah sebentar."

"Gimana keadaan kamu?"

"Udah mendingan, kok. Kening Binar gak terlalu biru sekarang."

"Syukurlah." Ferdi menghembuskan napas. "Kalau masih sakit, Papa bisa panggil dokter."

"Gak usah, Pa. Ini udah lebih baik daripada sebelumnya." Setidaknya Binar beruntung memiliki Ferdi yang perhatian padanya.

Ferdi tersenyum, mengelus lembut puncak kepala Binar. "Ya sudah kalau gitu. Kamu istirahat, biar enakan."

"Iya, Pa."

Binar mengangguk. Ferdi berlalu dari sana.

Mata Binar menatap ponselnya yang tergeletak di ranjang. Sebuah notifikasi muncul dari sana.

Binar mengambil ponselnya, matanya menyipit, ada pesan dari nomer yang tidak ia kenal.

"Nomernya siapa, ya?"

Daripada penasaran. Binar membaca pesan itu.

+628xxxxxxxxx

Antara Cinta dan Lara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang