A Deppressed Heart

4 0 0
                                    

Double update ya, kasian kalau terus disekap.

Ini nih karyanya neng Itaitulll

Selamat membacaaaa.
Jangan lupa tinggalkan jejak.

Hawa dingin pagi itu terobati oleh sinar surya yang muncul di ufuk timur. Menyinari bunga-bunga di taman milik SMA Angkasa Merdeka. Pohon-pohon yang berjajar rapi, kolam ikan di tengah taman, dan bangku di tepiannya, membuat sekolah itu tampak asri hingga siswa-siswi meluangkan waktu untuk menikmati pemandangan itu, salah satunya Shalu.

Shalu duduk seorang diri di bangku dekat pohon mangga, menikmati angin sejuk sembari membaca buku biologinya. Tak dihiraukan teman-temannya yang baru saja tiba di sekolah, berlalu lalang dari arah gerbang menuju kelas. Hingga ia tak sadar di belakangnya ada seseorang.

“DOR!!!’’ teriaknya. Siapa lagi pelakunya jika bukan Ulfa, teman Shalu satu-satunya.

Shalu tidak kaget. Untung saja ia memakai earphone sehingga bisa mengurangi volume suara yang dikeluarkan dari mulut mercon Ulfa. Dia hanya memandangnya sekilas dan membalasnya dengan senyuman.

“Kok enggak kaget, sih,” sungutnya. “Shalu, ihh, ini tuh masih pagi. Kenapa udah baca buku aja, sih?”

Dia selalu sebal melihat teman seperjuangannya menghabiskan waktu dengan buku, buku, dan buku. Entah di kelas, di kantin, di manapun itu, Shalu selalu membawa buku.

“Ya enggak apa-apa dong, Fa. Belajar pagi-pagi itu enak, gampang masuknya,” ujar Shalu pada teman yang kini duduk di sampingnya.

“Kamu kan udah pinter, untuk apa belajar lagi? Emang otaknya enggak panas dimasukin materi begituan? Kalo Ulfa mah ogah,” ucap Ulfa yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Shalu.

“Heran, deh, sama kamu, Sha. Udah peringkat satu paralel sejak kelas sepuluh, bahkan semester lima kemarin kamu juga yang jadi juaranya. Itu udah cukup buat kamu daftar kuliah jalur SNM kali, Sha. Kenapa belajar terus, sih?”

Shalu memandang temannya, memperlihatkan senyum di wajah bulatnya.

“Kamu tahu alasannya, Fa,” ucap mereka berbarengan. Ulfa hafal betul kalimat andalan sahabatnya ini.

“Iya, tahu. Tapi tolonglah, buat hidup kamu berwarna di tahun terakhir kita ini. Tinggal satu semester lagi, Sha.”

“Justru itu, aku harus mengejarnya. Kamu tahu semua pikiran aku, Fa. Aku harap kamu ngerti.”

Mendapat julukan sebagai ratu─peringkat satu─sejak awal masa putih abu-abunya, tak membuat gadis berkulit putih itu puas. Menurutnya, apa yang dilakukan dan apa yang ia dapatkan belum cukup untuk membahagiakan orang tercintanya, yaitu mamanya.

“Ta─” Shalu dan Ulfa menyudahi percakapan panas ini ketika bel berbunyi yang mengharuskan mereka segera masuk kelas.

Ulfa mengerti keadaannya, tetapi bukan berarti Shalu harus menyiksa diri sendiri dengan merelakan kesenangannya. Ulfa sudah menganggap Shalu sebagai adiknya. Saling berbagi rahasia, baik suka maupun duka. Itu semua berkat diary bersampul hijau tua yang ditemukan oleh Ulfa di tas Shalu ketika ia ingin meminjam laptopnya.

Awalnya Shalu tak mau memberitahukan isi diary itu, tapi apa daya. Ulfa si keras kepala itu memaksanya hingga Shalu memberikannya. Tak puas jika hanya membaca, Ulfa mendesak Shalu untuk menceritakan segalanya. Mulai dari waktu belajarnya, mamanya yang pekerja keras, papanya yang telah meninggalkannya sejak kecil, hingga hobi menulis yang mamanya saja tidak tahu. Selain menulis, ia juga pintar bermain bulu tangkis dan pernah mengikuti lombanya.

Kidung SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang