Wira membeku. Ini bukan kabar yang ingin ia dengar ketika tujuannya sudah di depan mata. Nayla, cinta pertamanya yang direbut secara tidak manusiawi akan kembali padanya. Walau Wira tak melihat kilatan cinta yang dulu ada di manik sendu belahan jiwanya, tapi dengan tuduhan keji Fabian, mantan sahabat baiknya tentang keguguran Nayla, Wira tahu, Nayla tidak akan memaafkan Fabian karena masalah itu. Jadi meski Latisha mengatakan perihal foto-foto itu, itu tidak akan merubah apapun. Dan Wira akan ada di sana untuk mendapatkan hati Nayla kembali.
Wira mendengar dengan jelas apa yang diluapkan Nayla di malam pertengkaran hebatnya dan Fabian. Nayla yang Wira kenal tidak pernah semarah itu. Dia pastilah sangat muak hingga melontarkan amarah yang sedemikian itu pada suaminya. Ya, apapun itu Wira yakin, Nayla tetap pada keputusannya. Bercerai dengan Fabian Chandra Bramantiyo. Suami yang telah merebut Nayla darinya.
Tapi apa ini?
Kenapa masalah ini datang sekarang?
Apa kebahagian tak layak baginya?
Apa tak bisa sekali saja Wira mendapatkan cinta yang diinginkannya?
Apa lagi-lagi perjuangannya harus kandas di tengah jalan?
Tidak! Wira tidak akan berubah haluan. Dia akan mengikuti kata hatinya. Bakal anak yang tumbuh di rahim Latisha adalah kesalahan, dan bukan ia yang 'melakukan' kesalahan itu.
*
Latisha menggeliat dan matanya terbuka perlahan-lahan. Ia menatap Wira yang menatapnya dengan dingin. Pastilah Wira telah mengetahui perihal kehamilannya.
"Apa kau sengaja tak makan untuk menyiksa apa yang ada di kandunganmu?"
Latisha merasa miris. Bahkan untuk mengatakan 'anak' saja, Wira harus merangkai kata sedemikian panjang.
Wira melihat Latisha yang berusaha turun dan pergi. Tapi Wira menurunkan bahu wanita itu agar ia tetap di tempatnya.
"Makananmu akan tiba sebentar lagi." Katanya lagi dingin.
"Jangan berlagak peduli. Aku tidak tahan berada di tempat yang sama denganmu."
"Apa kau pikir aku mau?"
"Baguslah, kalau begitu jangan ikut campur urusanku. Uruslah dramamu dengan keluarga Bramantiyo itu. Kita lihat akan semenyedihkan apa nasib cintamu nanti."
Wira terkekeh. Melihat amarah Latisha membuat Wira menyadari sesuatu. "Apa kau cemburu?"
Latisha mendelik tak percaya. Cemburu? Yang benar saja. Atas dasar apa ia harus cemburu?
"Apa kau gila?"
"Mulutmu memang tajam, tapi matamu tak bisa berbohong. Kau mengatakan aku menyedihkan hanya untuk membuat dirimu merasa lebih baik. Kau pasti sangat berharap aku gagal kan? Berharap agar Nayla dan si Brengsek Fabian tidak jadi bercerai. Jadi aku tidak punya alasan untuk tidak menikahimu apalagi kau sekarang sedang mengandung anakku."
"Cih! Kau terlalu percaya diri. Aku sudah punya pria baik yang akan menjadi ayah untuk ANAKKU. Kau bukanlah siapa-siapanya."
"Oh ya? Kau pikir aku bodoh? Mana ada pria yang ingin menikahi wanita yang sedang mengandung benih orang lain."
Latisha tak membalas membuat Wira merasa menang. Wira baru sampai di pintu dan hendak keluar ketika dia mendengar Latisha menelepon seseorang.
"Hallo, sayang."
"....."
"Bisakah kau menjemputku di rumah sakit?"
"...."
"Tidak tidak. Aku baik-baik saja."
"....."
"Humm. Aku akan mengirimkan nama rumah sakitnya setelah aku tahu. Humm. I love you too."
Wira masih bergeming. Bahkan ketika perawat yang membawa makanan tiba, Wira masih bergeming di tempatnya. Apa ia salah? Bukankah Latisha menyimpan rasa padanya, kalau tidak, kenapa juga dia repot-repot melenyapkan bukti keterlibatannya dalam kasus jebakan foto? Iya kan?
Wira melihat Latisha menanyakan nama rumah sakit tempat ia dirawat pada si perawat dan mengulas senyum yang lumayan menggelitik hati Wira.
'Wanita itu bisa tersenyum juga ternyata.'
Wira bisa melihat Latisha yang tak mempedulikannya. Wanita itu hanya makan dengan tenang tapi sepertinya senang karena bisa membuat skor mereka satu sama.
***
20 menit kemudian, seorang pria berbaju hitam datang. Pria itu hanya mengatakan permisi lalu masuk. Tak mempedulikan Wira sama sekali atau bertanya, kenapa dia bisa di sini bersama kekasihnya? Kalau memang Latisha adalah kekasihnya, seperti yang ia simpulkan.
"Kau baik-baik saja. Apa ada yang terluka?"
Latisha menggeleng dan membiarkan pria serba hitam itu menyentuh wajahnya yang pucat.
"Aku mau pulang."
'Cih! Dasar perengek.' Batin Wira yang mendadak panas. Di satu sisi, Wira mungkin tidak peduli, tapi memikirkan ada pria lain yang akan dipanggil ayah oleh anaknya kelak membuat darah Wira bergejolak. Entah kenapa, ia sedikit tak rela.
"Setelah aku memastikan semua baik-baik saja. Habiskan dulu makanmu, dan aku segera kembali."
Latisha lagi-lagi menjadi kucing penurut dengan hanya mengangguk manja.
"Terima kasih karena sudah mengantarkan tunangan saya ke rumah sakit. Saya sangat berhutang budi."
Wira melihat uluran tangan pria serba hitam itu tapi tak meresponnya. Apa-apaan ini? Tunangannya?
"Kau bertunangan dengan wanita yang mengandung anak orang lain?" Tanya Wira ingin menskak mati Latisha, tapi jawaban pria itu malah membuat Wira gigit jari.
"Dia baik dan aku mencintainya. So why not? Lagi pula, anak itu akan jadi anak kami. Dia tidak perlu tahu siapa ayah kandungnya, dia hanya perlu seorang ayah yang ada di sisinya. Permisi. Saya harus menemui dokter. Tunangan saya tidak pernah suka rumah sakit."
Wira mengepalkan tangannya. Sadar apa yang akan hilang di masa mendatang. Apa ia benar-benar rela kehilangan yang di masa mendatang itu?
Wira dan pikirannnya yang berkecamuk tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya pergi dengan tujuan yang sama. Dia akan tetap memperjuangkan cintanya. Itu saja.
***
Setelah kepergian Wira, Latisha kembali murung bahkan tak menyadari kehadiran pria yang ia akui sebagai tunangannya itu.
"Jadi anda hamil dan pria yang bersekongkol dengan Arual itu adalah ayahnya?"
"Ya. Dia adalah pria yang begitu tergila-gila pada istri pak Fabian. Kami dijebak oleh Arual dan sekarang nyawa tak berdosa sedang tumbuh di sini." Jawab Latisha lalu mengelus pelan perutnya yang masih rata.
"Dia mungkin akan bertanggung jawab." Ucap pria serba hitam itu. Jerry, sang detektif yang sempat memberikan kartu nama pada Latisha.
Latisha heran kenapa Jerry mau begitu saja mengikuti sandiwaranya tapi untuk itu, Latisha sangat berterima kasih.
"Lalu apa? Menikah dengan pria yang mencintai orang lain? Hidup sebagai bukan istri idaman?"
"Entahlah, rasa bisa berubah."
"Saya lelah. Saya lelah dengan semuanya. Saya hanya ingin hidup yang damai."
Jerry, si tunangan palsu tersenyum getir. Malang sekali wanita di hadapannya. Dia terus menerus menjadi korban dan mengorbankan dirinya.
'Dan kau mencintai pria itu bukan?'

YOU ARE READING
BUKAN ISTRI IDAMAN
RomanceTentang dia yang berjuang sendirian. Tentang dia yang tak pernah diidamkan. Tentang dia yang mencintai tapi tak dicintai Latisha artinya kebahagiaan yang besar, tapi kenapa kebahagiaan justru tak pernah menyapanya? Tentang dia... Latisha Fimay