.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Seminggu setelah kecelakaan.
Bip bip bip.
Latisha terjaga lagi untuk kesekian kalinya. Tatapannya kosong, jiwanya hampa. Mati mungkin lebih baik dari sekarang, tapi sayangnya, meski sudah terhantam mobil gila, kehilangan janin yang dicintainya, Latisha tidak jua mati. Kini dia hanya meratapi nasibnya. Kehilangan segala harapan hidupnya.
Latisha Fimay artinya Kebahagiaan yang besar di bulan Mei. Sekarang bulan Mei, tepat hari kelahirannya, tepat di hari yang sama ketika kedua orang tuanya meninggalkannya dan tepat di hari ini juga, ia akan mengakhiri segalanya.
"Kau sudah bangun?" Tanya Jerry yang tak pernah sekalipun meninggalkannya sejak ia tiba di rumah sakit untuk mendampingi wanita malang itu.
"Kapan dia akan datang?" Tanya Latisha setelah Jerry membantunya minum.
"Mungkin sebentar lagi. Bersiaplah. Sudah waktunya kau merelakan segalanya. Ini yang terbaik untuk hidupmu."
Latisha mencoba tersenyum dan meyakinkan dalam hati. Ya. Ini yang terbaik untuk hidupnya yang takkan lama lagi.
BUK.
Dan benar. Pemeran utama pria akhirnya datang. Waktunya menamatkan cerita picisan ini.
Pintu terbuka dan nampak seorang pria yang terlihat begitu kacau. Rambutnya acak-acakan, bulu-bulu tipis tumbuh di sekitar rahangnya, dan kantung mata hitam sangat jelas di ceruk manik lelah itu.
Latisha menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan tenggorokan yang tercekat. Mari kita mulai drama penutup ini.
"Akhirnya aku menemukanmu. Aku benar-benar gila. Bagaimana bisa kau kecelakaan seperti ini?" Ujar Wira sambil memeluk erat tubuh Latisha yang lemah.
"LEPAS!" Perintah Latisha yang langsung membuat Wira keheranan.
"Aku tahu aku salah. Harusnya aku menemukanmu lebih cepat. Kau boleh memakiku. Aku memang pantas mendapatkannya. Apa kepalamu sakit?"
Latisha menepis tangan besar Wira dari kedua bahunya. Dia tidak punya waktu untuk berlama-lama dengan pria ini.
"Jangan bersandiwara lagi. Kau membuatku muak."
Wira mengerutkan dahi keheranan lagi. Kenapa Latisha menjadi dingin seperti ini?
"Sandiwara?" Tanyanya tak mengerti.
"Kau bahagia bukan?"
Wira mundur selangkah, mencoba mengamati ekspresi dingin Latisha. Ada apa ini?
"Akhirnya kau tidak punya alasan lagi untuk berpura-pura mempertahankanku. Anakku telah mati. Dia telah pergi."
Wira terbelalak. Apa? Anak mereka? Mati? Meninggal?
"Apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan bayi kita?"
Bukannya menjawab, Latisha malah memberikan smirk menakutkan.
"Jawab pertanyaanku. Apa yang terjadi pada anak kita?"
"APA KAU TULI? DIA MATI. DIA SUDAH MATI!! ANAKKU YANG TIDAK BERDOSA LEBIH MEMILIH PERGI DARI PADA BERADA DI TANGAN BINATANG SEPERTIMU DAN IBUMU. KAU PUAS?"
"Apa sebenarnya yang kau ocehkan? Apa yang kau bicarakan?" Wira mencengkram dan mengguncang hebat bahu Latisha. Apa yang sebenarnya yang telah terjadi?
"Lepaskan dia!" Perintah Jerry yang menginterupsi.
"Jangan ikut campur, sialan! Sedang apa kau di sini? Berpura-pura menjadi pahlawan kesiangan lagi? Dia istriku, akulah yang berhak berada di sini."
PUK.
Sesuatu yang kecil menghantam wajah Wira. Dilihatnya sebuah benda berkilau jatuh ke lantai, menggelinding dan akhirnya berhenti setelah menabrak dinding. Wira mengenali benda kecil itu. Itu-cincin pernikahan yang ada di jari Latisha.
"Aku bukan lagi istrimu dan aku tak sudi menjadi istri dari manusia biadab sepertimu."
"APA YANG SEBENARNYA TERJADI PADAMU? JANGAN MEMBUATKU GILA! BICARALAH YANG JELAS!" Wira mengguncang Latisha lagi, tapi secepat kilat Jerry menarik dan menumbangkannya. Wira yang hampir seminggu tak tidur dan tak makan dengan baik tentu saja langsung K.O.
Meski begitu, Wira tak menyerah. Dia sudah hampir gila karena seminggu ini tidak mengetahui keberadaan Latisha. Dan ketika ibunya mengabari kalau Latisha berada di rumah sakit karena kecelakaan, dia hanya ingin melihat jika Latisha baik-baik saja. Tapi apa ini? Kenapa tidak ada yang baik-baik saja di sini? Kenapa semuanya membuatnya gila seperti ini?
"Tak bisakah kau bicara baik-baik denganku, hmm?"
Latisha membuang muka. Dia sudah benar-benar muak menghadapi Wira dan segala dramanya.
"Tak bisakah kita bicara berdua saja?"
Latisha berbalik dan menatap dingin manik Wira yang lelah.
"Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Hari dimana aku tahu kau dan ibumu berencana memisahkan aku dan anakku, di hari itu juga aku membunuhmu dari hatiku."
Mata Wira terbelalak. Astaga! Apa Latisha mendengar perkataannya saat itu?
"Tidak. Kau salah paham."
Belum lagi Wira menyelesaikan kalimatnya, Latisha mengangkat lima jarinya ke hadapan wajah Wira. Memberi isyarat jika ia tidak ingin disela.
"Dan ketika aku kehilangan anak yang tengah kukandung, ketika itulah aku bersumpah. Aku-lebih baik mati dari pada harus bersamamu."
PLAK.
Lima jari melayang ke pipi pucat Latisha. Jerry pasti akan menumbangkan Wira lagi jika Latisha tidak memberi isyarat untuk membiarkannya saja.
"Aku mengerti kau sedih karena kita kehilangan anak kita, makanya pikiranmu menjadi kacau seperti sekarang. Aku akan memberikanmu waktu untuk menenangkan diri. Besok kita akan bicara lagi." Ucap Wira yang tahu tidak mungkin berbicara dengan Latisha saat ini. Dipungutnya cincin pernikahan yang tadi dibuang istrinya dan diletakkannya di atas nakas. Berharap Latisha sudi mengenakannya kembali.
Dengan gontai Wira pergi. Meninggalkan Latisha yang tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya.
"Berakhir. Semua telah berakhir. Aku melakukan hal yang benar kan? Hmm?"
Jerry hanya tersenyum pahit dan memegang bahu Latisha yang bergetar. Dalam hati ia berjanji, takkan pernah membiarkan wanita malang ini sendiri lagi.
Dia.....akan selalu ada untuknya.
Menuju ending 😥😥

YOU ARE READING
BUKAN ISTRI IDAMAN
RomanceTentang dia yang berjuang sendirian. Tentang dia yang tak pernah diidamkan. Tentang dia yang mencintai tapi tak dicintai Latisha artinya kebahagiaan yang besar, tapi kenapa kebahagiaan justru tak pernah menyapanya? Tentang dia... Latisha Fimay