Chapter Seventeen✨

91 17 19
                                    

Berita soal Ares dan Anan yang berangkat sekolah bersama sudah tersebar di seluruh penjuru sekolah. Bahkan, entah dari mana sumbernya, terdapat beberapa foto Ares dan Anan yang tengah berada di danau tadi.

"Tuh kan, aku bilang juga apa. Ares itu bukan cewek baik-baik. Kemarin aja dia mutusin Anan sepihak, sekarang aja udah nempel-nempel lagi sama Anan. Aku kasihan banget sama Anan."

"Kamu benar juga, Re. Beruntungnya aku udah putus sama dia. Aku gak habis pikir, kenapa Ares yang aku kenal dulunya cewek baik, sekarang jadi kayak gitu."

Rea tersenyum senang, mendengar jawaban Raden tadi. Ternyata, kepandaiannya dalam berbicara boleh juga. Hanya dalam beberapa hari, Raden sudah termakan oleh semua gosip yang dibuatnya.

Sementara Zilva, yang duduk di sebelah kiri Rea, merasa bahwa hatinya sedikit kehilangan kala Ares kini tidak lagi disampingnya. Ralat, gadis itu merasa kehilangan setelah ia meninggalkan Ares.

"Rea!"

Suara dengan nada tinggi itu membuat Rea, Zilva dan Raden terkejut.

"Ngapain sih pakai teriak-teriak segala? Gue gak tuli," ucap Rea ketus.

"Maksud kamu apa-apaan sih? Gak cukup kemarin kamu menyebarkan gosip yang enggak-enggak soal Ares? Sekarang, kamu juga menyebarkan foto kami yang lagi di danau, dan kamu tambahkan caption yang gak sesuai kenyataan? Maksud kamu apa?!" bentak Anan. Ia tak habis pikir dengan kelakuan Rea, yang merupakan sahabat dari mantannya itu.

"Lo yang apa-apaan! Datang-datang pakai teriak, trus main nuduh orang lagi. Siapa coba yang nyebarin foto kalian?" ucap Rea membela dirinya.

"Gak usah pura-pura gak tahu deh. Aku tadi lihat kok kamu ngikutin aku dan Ares sampai ke danau. Jadi, siapa lagi yang nyebarin gosip baru itu kalau bukan kamu?"

"Memangnya kamu punya bukti apa nuduh Rea?" ucap Zilva angkat suara.

"Kamu gak usah bela Rea, Zil. Rea ini udah jelas salah, gak mau ngaku," ucap Anan.

"Tapi, yang diomongin Zilva itu benar. Kamu gak punya bukti, Nan. Kamu gak bisa nuduh Rea begitu aja," ucap Raden menimpali.

"Iya, nih. Kamu bisa dituntut kalau menuduh orang sembarangan, Nan," ucap Zilva lagi.

"Kalian gak usah belain Rea trus. Oke, sekarang, aku emang gak punya bukti yang jelas untuk nuduh Rea. Tapi, satu hal yang perlu kalian ingat, saat ini kalian tengah membela orang yang salah!" ucap Anan, kemudian berlalu pergi meninggalkan Rea, Zilva dan Raden.

"Re, kamu gak usah mikirin ya omongan Anan tadi," ucap Raden.

"Iya, mungkin dia gak terima aja mantannya kita gituin," timpal Zilva.

"Iya, makasih banyak ya, kalian udah percaya sama aku," ucap Rea tersenyum.

'Akhirnya, semua orang berpihak sama aku.'

•••

Anan berjalan dengan cepat menuju rooftop. Lelaki itu sudah mencari Ares di seluruh penjuru sekolah, hanya rooftop lah tempat yang belum ia kunjungi. Anan sangat yakin, bila Ares pasti ada di sana.

Lelaki itu khawatir akan keadaan Ares. Tentunya gadis yang merupakan mantannya itu sedang terguncang pikirannya karena gosip baru yang tengah panas diperbincangkan seisi sekolahnya.

Gosip tersebut sudah pasti disebar oleh Rea. Namun, gadis itu tetap keukeuh membela dirinya sendiri. Bodohnya lagi, Zilva dan Raden juga turut membela gadis licik itu. Anan tak habis pikir dengan Zilva dan Raden, mengapa mereka berdua dengan gampangnya mempercayai setiap perkataan yang keluar dari mulut Rea?

Anan membuka pintu yang berada di ujung tangga, kemudian terbukalah suasana rooftop yang sepi. Tidak ada Ares disana. Anan menghela napasnya kasar, lelaki itu hendak menutup kembali pintu itu sebelum suara tangisan yang amat dikenalinya itu terdengar.

"Ares? Kenapa kamu di sini sih?" tanya Anan ketika melihat Ares berada di tepi rooftop.

"Aku muak sama hidup aku, Nan. Aku muak. Setiap hal yang aku lakukan, selalu aja salah di mata mereka. Aku muak hidup, Nan," teriak Ares. Mata bengkaknya terus mengeluarkan air mata.

Anan menarik lengan Ares, hingga jatuh ke pelukannya. "Kamu gak boleh bilang gitu. Inilah hidup, gak pernah ada yang mulus, selalu aja ada cobaan. Dan setiap cobaan itu harus dijalani."

"Aku gak kuat, Nan. Rasanya, masalah itu datang bertubi-tubi. Gak bisa aku bernapas dengan lega barang sedetik aja. Aku mau mati aja, Nan. Biarin aku lepas, aku mau loncat dari rooftop aja."

Mendengar perkataan Ares, Anan bukannya melepaskan, justru lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya kepada Ares.

"Eits, kamu gak boleh bilang begitu. Hidup itu anugrah dari Tuhan. Kamu gak berhak untuk mengakhiri hidup begitu saja."

"Tapi, apa gunanya aku hidup kalau semua orang udah gak percaya sama aku? Hiks, hikss ...."

"Ssstt .... Jangan nangis. Masih banyak yang percaya sama kamu, bahwa kamu itu tidak seburuk seperti gosip-gosip yang beredar. Orang tua kamu, keluarga besar kamu pastinya orang yang paling percaya dengan kamu. Karena mereka yang paling mengenal kamu," ucap Anan menenangkan.

'Dan aku, juga orang yang paling percaya sama kamu, Res.'

"Terima kasih, Nan. Terima kasih banyak, kamu udah berusaha ada buat aku," ucap Ares tersenyum.

"Sama-sama. Udah, jangan nangis lagi ya," ucap Anan lalu mengusap pipi Ares yang sudah basah karena air mata gadis itu.

"Nan, aku boleh minta satu hal?" ucap Ares tiba-tiba.

"Apa?"

"Tolong jauhi aku."

Ucapan Ares seketika membuat Anan terkejut. "Maksud kamu apa?"

"Jauhi aku. Aku gak mau kamu terlalu banyak terlibat sama urusan aku. Aku takut, nanti kamu juga ikutan dibenci sama mereka."

"Enggak. Meski seisi dunia sekalipun membenci aku, aku gak akan pernah pergi meninggalkan kamu."

"Kenapa? Kenapa kamu tetap setia di sisi aku? Padahal, aku udah jahat banget dengan nyakitin hati kamu."

"Tidak semua kejahatan mesti dibalas dengan kejahatan juga. Iya, kan?"

Ares mengangguk.

"Aku tetap di sisi kamu, karena aku tahu kamu bukan orang jahat. Kamu adalah orang baik yang mesti selalu aku lindungi."

'Bahkan, dengan nyawa aku sendiri.'

"Makasih banyak," ucap Ares. Entah sudah keberapa kalinya, gadis itu mengucapkan terima kasih kepada Anan.

"Seandainya aja, ucapan terima kasih kamu itu bisa diuangkan. Mungkin aku udah jadi orang terkaya di dunia atas ucapan kamu itu," ucap Anan meledek.

"Ih mata duitan haha."

"Ya, enggaklah."

"Enggak apanya coba? Itu tadi bayanginnya pakai duit mulu."

"Iya deh iya. Aku ngaku," pasrah Anan.

"Haha, ngaku juga kan."

Keduanya lalu tertawa, karena perbincangan tidak bermutu mereka.

'Aku gak apa-apa jadi bodoh, asalkan kamu bisa tertawa, Res.'

"Di sini adem banget, ya," ucap Ares sambil merentangkan tangannya, berusaha menikmati udara yang terus bergerak.

"Lebih adem lagi, kalau lihat kamu tersenyum," ucap Anan. Lelaki itu lalu menoleh ke arah Ares, dan mendapati pipi Ares yang bersemu akibat ucapannya.

"Bisa wae kamu, mas."

"Res, janji ya."

"Janji apa?"

"Janji untuk selalu tersenyum dan bahagia."

Ares melihat Anan, kemudian mengangguk. "Aku janji."

⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰

Teruslah tersenyum untukku, karena sejujurnya aku benci melihatmu menangis.

ESTETIKA [Completed ✔]Where stories live. Discover now