Hari ini Raden sudah kembali ke sekolah. Ares mengetahui hal itu karena semalam Tyas meneleponnya dan memberitahukan Ares perihal kembali masuknya Raden ke sekolah. Tidak hanya itu, Tyas juga memintanya untuk memperhatikan serta menjaga Raden. Ares yang tidak enak hati menolak, akhirnya hanya bisa mengiyakan permintaan Tyas.
Ares sekarang tengah berdiri di koridor kelasnya, pandangannya ia fokuskan pada gerbang sekolah. Raden adalah alasan mengapa gadis itu terus-terusan menjatuhkan fokusnya ke arah gerbang. Ares melirik jam yang melingkar sempurna di tangannya, 15 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Namun, lelaki yang tengah ditunggu oleh Ares belum jua menampakkan batang hidungnya.
“Raden mana, ya? Kok masih belum datang?” tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sekali lagi Ares melirik jam tangannya, lalu mengembuskan napasnya kasar. Tidak biasanya Raden seperti ini. Datang ke sekolah di 10 menit terakhir.
Ares kembali melihat ke arah gerbang. Jika dalam waktu 1 menit lagi, Raden masih belum juga datang, maka dengan terpaksa Ares harus masuk ke kelas dan tidak bisa menunggu lelaki itu lagi.
5 detik ….
10 detik ….
20 detik ….
30 detik ….
50 detik ….
1 menit ….
Ares menghela napasnya, lalu hendak berbalik badan berjalan menuju kelasnya. Namun, saat Ares hendak berbalik, gadis itu tak sengaja menangkap siluet seseorang yang dengan gontainya berjalan masuk ke gerbang sekolah.
“Raden!” pekik Ares ketika mendapati lelaki yang ditunggunya sedari tadi akhirnya datang juga. Ares dengan segera berlari menuju arah tangga, dan dengan cekatan gadis itu menuruni satu per satu anak tangga.
Setelah menuruni tangga, Ares berlari menuju gerbang sekolah untuk menemui Raden. Akan tetapi, langkahnya seketika berhenti, kala mendapati ada 2 orang gadis yang terlebih dahulu menyambut Raden.
“Raden! Akhirnya kamu masuk sekolah juga,” ucap gadis pertama dengan antusias. Terlihat jelas oleh Ares, raut bahagia meiiputi seisi wajah gadis itu.
“Iya, Den. Kasihan tahu si Rea, karena ditinggal sakit sama kamu. Galau mulu dianya di sekolah. Katanya sih kangen kamu,” ucap gadis satunya lagi.
Ya, kedua gadis itu adalah Rea dan Zilva, mantan sahabat Ares. Tidak! Ares tidak pernah menganggap mereka berdua sebagai mantan sahabatnya. Karena, mau bagaimanapun mereka membenci Ares dengan sangat, mereka tetaplah sahabat Ares.
Ares tersenyum miris, kala mendapati Raden sudah disambut oleh kedua sahabatnya itu. Jadi, buat apalagi Ares berdiri disitu dan melihat mereka? Tidak ada gunanya. Niatnya untuk mendatangi Raden sirna, ketika melihat Raden bisa tersenyum lebar kala bersama kedua sahabatnya itu. Lagipula, hubungan antara Ares dan kedua sahabatnya itu masih tidak baik. Takutnya, jika Ares menghampiri mereka, malah akan terjadi suatu keributan lagi, yang tentunya akan berefek tidak baik bagi Raden yang baru sembuh.
‘Mending aku masuk ke kelas aja. Mungkin betul kata Zilva, Rea tengah merindukan Raden. Jadi, mereka tentunya butuh waktu untuk berbincang lebih.’
•••
Ares mengaduk baksonya dengan tidak berselera. Entah mengapa, semenjak kejadian tadi pagi, Ares rasanya tidak bersemangat dalam menjalani harinya. Bahkan, saat-saat istirahat inipun, gadis itu tetap saja terlihat lesu.
Ares melihat baksonya, garpu yang berada di tangan kirinya, ia gunakan untuk menusuk sebuah bakso. Kemudian gadis itu memasukkan bakso itu ke dalam mulutnya. Pada gigitan pertama saja, gadis itu sudah tidak nafsu makan. Ares dengan cepat mengunyah habis bakso itu. Ia meraih botol minumnya dan meneguk air sedikit.
Gadis itu bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar dari daerah kantin. Ia sepertinya membutuhkan tempat tenang untuk bisa beristirahat.
Di sepanjang koridor, Ares mendengar bisikan-bisikan yang mengatasnamakan namanya. Ares sangat yakin, bahwa bisikan itu untuk menjelekkan dirinya. Masalahnya dengan Rea dan Zilva yang belum selesai, membuat gadis itu masih beberapa kali mendengar bisikan tidak suka dari teman-teman di sekolahnya. Meski, sudah tidak terlalu banyak yang membicarakannya, tapi tetap saja Ares merasa tidak tenang.
Ares mempercepat langkahnya, supaya pikirannya tidak bertambah kacau mendengar semua bisikan itu. Sedikit lagi, langkahnya akan membawanya ke tempat terdamai yang ada di sekolah ini.
Rooftop.
Ares berjalan menuju rooftop. Gadis itu merentangkan kedua tangannya, berusaha merasakan kesejukan dari angin sepoi-sepoi. Kemudian, gadis itu berjalan mencari tempat yang baik untuk bisa diduduki olehnya. Gadis itu lalu melipat kedua tangannya dengan kakinya sebagai penyangga, dan menelungkupkan wajahnya tenggelam di lipatan tangannya.
Ares hampir terlelap, mengingat sejuknya angin sepoi-sepoi di atas rooftop sana. Namun, Ares kembali terbangun ketika seseorang dari belakang menepuk pundaknya dengan lembut.
“Sejak kapan hobi kamu jadi ke sini?”
“Sejak banyak masalah yang satu per satu datang menghampiri aku,” ucap Ares tersenyum kecil.
“Aku heran, kenapa sih masalah selalu datang menghampiri aku? Apa coba salah aku? Aku udah berusaha berbuat baik, menjadi orang yang sabar, nggak neko-neko. Tapi, tetap aja masalah datang aja terus-menerus,” lanjutnya.
“Kamu gak usah heran. Namanya juga hidup. Gak ada satupun kehidupan di dunia ini yang bakal berjalan mulus-mulus aja. Sekalipun kamu adalah orang terbaik di dunia, sekalipun kamu adalah orang tersabar di dunia. Masalah akan tetap ada di kehidupan kamu. Karena apa? Ya, karena ini adalah hidup.”
“Gitu ya, Nan?”
Anan menganggukkan kepalanya, lalu mengelus lembut puncak kepala Ares membuat gadis itu seketika salah tingkah.
“Iya, memang begitu. Lagipula, seharusnya kamu bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk ngerasain hidup yang penuh masalah.”
Ucapan Anan membuat Ares mengernyitkan dahinya. “Kok bersyukur sih?”
“Ya bersyukurlah. Karena, ketika kita masih diberikan masalah dalam hidup kita. Itu artinya, kita masih hidup.”
“Aku gak ngerti deh maksud kamu apa, Nan.”
“Gini deh, coba kamu lihat orang yang udah meninggal. Apakah mereka masih mempunyai masalah di kehidupan mereka?”
“Ya, enggaklah. Kan mereka udah tenang di alam sana.”
“Nah, itu dia maksud aku. Kalau kamu masih ngerasain masalah yang banyak menimpa hidup kamu, itu artinya kamu masih hidup, kamu belum meninggal.”
Ares menganggukkan kepalanya, pertanda ia memahami ucapan dari Anan.
“Kehidupan yang sesungguhnya bukan dimulai saat kita lahir. Akan tetapi, kehidupan yang sesungguhnya dimulai saat kita dewasa, dan mengenal apa itu masalah.”
Ares tersenyum mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Anan. Benar kata Anan, kehidupan sesungguhnya itu dimulai saat kita mengenal apa itu masalah. Ares merasa, tujuannya datang ke rooftop tidak sia-sia. Selain ia mendapat ketenangan di tempat ini, ia juga mendapat 1 alasan baru mengapa dirinya harus kuat dalam menghadapi masalah.
“Makasih banyak ya, Nan. Kamu selalu bisa buat aku merasa lebih tenang.”
“Itulah tujuan teman yang sebenarnya, membantu serta menguatkan ketika teman yang lain merasa diambang keputusasaan. Bukannya malah meninggalkan dan semakin menghilangkan kekuatan untuk bangkit dari keputusasaan.” Anan tersenyum mengakhiri ucapannya. Ia harap, Ares dapat paham dengan ucapannya.
⊱ ────── {⋆⌘⋆} ────── ⊰
Kamu tidak perlu merasa takut akan kesendirian. Ada aku di sini yang akan selalu menemanimu, walau dari jauh.
YOU ARE READING
ESTETIKA [Completed ✔]
Teen FictionApakah kamu bisa membayangkan dilahirkan dari seorang wanita pecinta akut hal-hal berbau estetika? Bahkan, sampai nama anaknya sendiri pun diubah menjadi super estetika. Apakah kamu bisa membayangkannya? Ini tidak mengada-ngada. Hal itu jelas terja...