Sesampainya di resort, Jungmo dan Minhee melakukan proses check-in, dan mendapatkan dua ruangan suite dengan connecting door yang masing-masing berisi 2 kamar tidur.
Sesuai yang sudah dipertimbangkan, Jungmo dan Woobin sekamar seperti biasanya, sedangkan Minhee sekamar dengan Seongmin.
Setelah menyimpan koper di kamar masing-masing, mereka berempat pun sepakat untuk menyelesaikan agenda pertama mereka, yaitu bermain ski.
Jungmo sebagai orang yang lebih berpengalaman di resort itu pun dengan sigap menyewa 4 set peralatan untuk mereka bermain ski.
"Mo, gini cara pakenya?" Tanya Woobin yang masih amatir dalam dunia perskian. Salahnya dia yaitu, nanyanya sama Jungmo.
Hari itu sepertinya derajat Jungmo di mata Woobin meningkat setelah dia berhasil menyetir mobil dan membawa mereka sampai dengan selamat di resort ski yang jaraknya 3 jam dari Seoul.
Tapi yang namanya Jungmo tetaplah Jungmo, manusia biasa yang banyak kebisaannya namun tidak bisa semuanya.
"Sorry bin, gue juga pertama kali main ski"
Meski keluarganya langganan VIP di resort ski ini, Jungmo belum pernah bermain ski sebelumnya karena beberapa alasan.
Salah satunya karena dilarang sama mamanya, soalnya Jungmo itu ceroboh jadi mamanya takut Jungmo kenapa-kenapa.
Selesai mengikuti pelatihan singkat, mereka berempat pun mulai bermain ski di lereng khusus untuk para pemula.
Kira-kira mereka menghabiskan waktu 3 jam dan bermain hingga puas, sebelum salah satu dari mereka mengajak yang lainnya untuk kembali ke resort karena lelah.
Ya, Jungmo lah orangnya.
Seongmin merengek masih ingin bermain, jadi terbagilah dua grup. Jungmo sama Woobin kembali ke resort, sedangkan Minhee dan Seongmin lanjut bermain ski.
"Akhirnya kesampean juga gue main ski, heheh" ucap Woobin untuk mengisi kecanggungan yang tiba-tiba kembali muncul di antaranya dengan Jungmo.
"Berkat siapa dulu dong?" Tanya Jungmo, minta dipuji-puji sama sahabatnya.
Woobin membalasnya dengan tawa kecil sembari menggosok kedua tangannya yang kedinginan. Tiba-tiba Jungmo menggenggam tangan Woobin dan memasukkannya ke dalam kantong paddingnya.
"—!" Woobin terkejut, namun Jungmo tetap menggandengnya dan kembali berjalan menuju resort, langkahnya tidak memelan sama sekali.
"Jungmo—"
"Waktu itu ada ubi, kali ini cuma ada tangan gue" Jungmo memotong pembicaraan Woobin, telinganya memerah.
Karena Woobin juga ingin terus bergandengan tangan dengan Jungmo, jadi dia diam dan nurut saja saat sahabatnya itu menggenggam erat tangannya.
Jantungnya berdebar kencang, ujung bibirnya naik membentuk senyuman.
Rasanya seperti mereka berdua sedang berada di dunia lain, di mana tidak ada yang mengenal mereka.
Di mana mereka berdua bisa menjadi diri sendiri, tanpa harus memperhatikan sekitar mereka.
Di mana Jungmo dan Woobin bisa jujur pada perasaan mereka masing-masing.
Sekembalinya ke kamar, Jungmo menatap Woobin tepat pada matanya. Woobin menelan ludahnya karena jarak Jungmo yang sangat dekat dengannya.
"Bin, kalo ga suka lu bisa nepis gue, oke?"
Woobin mengangguk pelan sebelum Jungmo memeluknya erat dan mendekapnya rapat-rapat.
Jungmo sedikit menunduk dan menaruh dagunya pada pundak Woobin, lalu menghela nafas lega. Sempat ragu, namun Woobin akhirnya memutuskan untuk menepuk-nepuk punggung Jungmo.
"Mo, gue boleh berharap kan?" Tanya Woobin, suaranya pelan.
"Berharap apa?"
"Berharap apa yang lu lakuin sekarang itu karena perasaan lu sama dengan perasaan gue"
Woobin melepaskan pelukannya dan menatap Jungmo.
"Gue..udah lama suka sama lu, Jungmo. Lu mau kan jadi pacar gue?"
Woobin sudah sangat yakin jika perasaannya berbalas, apalagi hari ini Jungmo telah menggandeng tangannya dan memeluknya tanpa memberinya alasan konyol seperti biasanya.
Namun sorot mata Woobin yang penuh dengan harap dalam sekejap berubah saat Jungmo menatapnya balik dan tersenyum pahit.
Sepertinya Jungmo telah menyimpan rasa sakit yang luar biasa selama ini, dan hari itu luka lamanya terkoyak kembali saat Woobin menyatakan perasaannya.
"Sorry bin. Tapi gue... ga bisa pacaran"
"...oh" woobin mundur dan menjauh dari jungmo.
"Gue juga suka sama lu, tapi gue ga bisa pacaran"
"Boleh gue tanya kenapa alasannya?" Woobin bertanya dengan perlahan, berhati-hati seperti sedang berjalan di atas es yang tipis.
Jungmo menghela nafas sebelum membalas pertanyaan woobin,
"Kita ga bisa tetep begini aja, bin? Harus banget kita pacaran?"
"Tapi gue gamau terus digantung begini mo.. Kalo bukan pacar, terus status kita ini apa?"
"...sahabat?"
"Bagi gue sahabatan aja ga cukup. Gue mau lu jadi pacar gue, jungmo"
"Ya ampun woobin, itu kan cuma status, ga ada yang akan berubah dari hubungan kita" Ucap jungmo, berusaha meyakinkan woobin untuk menyerah.
"Oh, jadi bagi lu ini semua cuma permasalahan status?" Hati woobin merasa terluka.
Mengapa keinginannya untuk saling berbagi hati dengan jungmo, malah terlihat seperti suatu masalah sepele di mata jungmo?
"Kalo bukan, terus apa yang lu permasalahin?"
"Udah cukup mo, mungkin kita berdua lagi capek"
Woobin berjalan menuju kamarnya, mengakhiri pembicaraan mereka sampai di sana.
Ia yakin jika diteruskan dan timbul keretakan di antaranya dengan Jungmo, maka mungkin dampaknya akan fatal.
"Woobin—" jungmo menggenggam tangan woobin, menghentikannya sesaat sebelum ia masuk ke kamar.
"Udah. Gue capek, mo"
Potong woobin sembari melepaskan genggaman tangan jungmo, letih melanda dirinya.
"Oh, jadi lu capek sama gue?" Tanya jungmo, nada suaranya lebih offensive ketimbang defensive.
"Loh kenapa jadi gitu sih mo?"
"Kalo emang yang lu cari itu pacar, minta aja sama kak serim sana!"
Dalam geram, woobin melayangkan tinju pada jungmo yang berhasil menangkapnya sebelum tinju itu mendarat pada sisi wajahnya.
Jungmo ingin melanjutkan kata-katanya, namun saat ia melihat air mata woobin mengalir deras, ia pun terdiam.
Woobin melepaskan genggaman jungmo, dan berjalan masuk ke kamarnya, membanting pintunya dengan kasar.

YOU ARE READING
My Dearest Best Friend (END)
FanfictionBxb Mogubin AU Best friend Campus life Roommate Bahasa Indonesia Bahasa sehari-hari, ga baku Mild language & profanity