XXVIII

11.6K 1.6K 121
                                    

               "Pak Michael, Ibu Rose—astaga, saya minta maaf karena mengganggu." Andaka terkejut ketika mendapati majikannya sedang mencium tetangganya di depan pintu dan buru-buru ia mengelap piano Mikael yang sebenarnya sudah bersih.

               "Andaka, kamu boleh pergi sebentar," kata Mikael tanpa menarik diri dari Rose yang sedang terengah-engah dan berusaha membelakangi Andaka. 

              Kemudian Andaka menahan senyumannya setelah dengan polos berjalan mendekati pintu keluar. Mikael menyadari derap kaki Andaka yang mendekat dan ia melepaskan ciumannya sehingga Rose merasa kehilangan. Pria itu lalu menatap Andaka dengan kesal. 

               "Pergi sebentarnya tidak dari pintu sini, Andaka. Memang ada yang sengaja mau kamu lihat?" tanya Mikael kepada Andaka. 

               "Maaf, Pak. Tetapi pintu keluar hanya satu yang di belakang Pak Michael dan Ibu Rose," balas Andaka lalu menunjuk pintu, sementara Rose tersipu merah dan bersembunyi di balik tubuh kekar Mikael.

               "Andaka," Mikael berdecak. "Masih ada pilihan lain. Kamu bisa pergi ke atas atau ke mana saja—you think of it. Jangan ganggu saya dan Rose, mengerti?"

               "Maaf, Pak Michael. Tapi di atas ada kamar tamu—"

               "Memangnya kenapa kalau ada kamar tamu? Kamu pikir saya mau melakukan apa? Saya hanya meminta kamu pergi sebentar dari sini, Andaka, dan saya yakin kamu masih ingin bekerja besok, bukan?"

               "Baik, Pak. Pergi yang lama juga tidak masalah, Pak," kata Andaka sambil menahan senyum dan semakin membuat majikannya sebal.

                Mikael menggeram, "Andaka—"

               "Mikael, sudah, kasihan Andaka," bisik Rose sehingga Mikael berbalik menatapnya. 

                Rose kemudian berkata saat Andaka sudah pergi ke lantai dua, "Aku minta maaf untuk ciuman itu, kamu pasti terkejut, ya? Aku juga sama. Aku tidak tahu lybrido bisa sekuat itu untuk merangsang hasrat seksual—"

                "Raeden memberikan kamu obat perangsang?" Mikael bertanya dan merasakan dadanya bergemuruh dipenuhi amarah serta sesuatu tak kasat mata seakan jatuh di kepalanya.

                "Iya. Aku minta maaf, Mikael. Aku benar-benar tidak bisa menguasai diriku. Rasanya lebih baik dilempar vas lagi daripada tersiksa seperti ini."

                "What do you want me to do, then? Menghancurkan Raeden? Ayo, dengan senang hati," kata Mikael lalu meraih kenop pintu.

               Rose dengan cepat menahan tangan pria itu dan langsung melepaskannya ketika ia menyadari sentuhan itu memberi getaran di sekujur tubuhnya. Ciuman mereka tidak mempan meredam gairah di dalam diri Rose. Ciuman mereka ternyata membuat semuanya menjadi lebih buruk karena Rose justru semakin menginginkan Mikael lebih dari itu.

                "Tidak, Mikael. Kamu hanya akan membuat hidupku semakin kacau kalau begitu. Just put your shirt on, at least, please. I'll figure something out with this," balas Rose dan berusaha setengah mati tidak menatap Mikael. 

                "Memangnya kenapa kalau aku tidak pakai baju, Rose? Kamu semakin tersiksa, ya?" tanya Mikael, meledek Rose. Mikael tersenyum miring sebelum berjalan untuk mengambil kaus dan Rose mengumpat ketika pria itu berlalu di depannya sehingga wangi cologne Mikael bertebaran di mana-mana. 

                "Mikael," gumam Rose tanpa ia sadari, tidak mengerti mengapa bibirnya dengan begitu saja menyebut nama Mikael.

                Mikael kemudian berhenti untuk menatapnya dan Rose tidak pernah mengira memandang Michael Leclair adalah sebuah tantangan besar. Pria itu terlalu sempurna, Rose sangat tahu itu. Mulai dari wajah, lekuk tubuh, wangi, suara, senyum yang tidak pernah lebih dari seringaian, sampai bagaimana Mikael menyebut namanya, Rose Asmaralaya tahu Mikael adalah impian.

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang