LXXII

10.6K 1.3K 89
                                    

     Edwin Asmaralaya membisu.

     Kedua mata pria paruh baya itu menatap kosong foto-foto di atas meja kerjanya. Ia terlalu bingung harus bereaksi seperti apa karena begitu banyak emosi di dalam dirinya. Ingin marah-marah, ingin berteriak, ingin menangis, ingin memeluk anaknya, ingin memutar waktu, dan ingin sekali menghancurkan wajah Raeden Agratama yang selama ini menyakiti anak perempuannya.

     Napas Edwin memburu dan tangannya terkepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Kepalanya terlalu pusing untuk mencerna bahwa Rose adalah korban kekerasan Raeden. Hatinya terlalu sakit untuk menyadari bahwa Rose mengorbankan diri hanya karena bisnisnya.

     Iris Asmaralaya merasakan yang sama. Wanita itu sesenggukkan dari tadi dan berusaha menenangkan Edwin di sebelahnya. 

    "Siapa lagi yang tahu soal ini?" tanya Edwin dingin.

    "Baru-baru ini Mikael, Om Arsen, dan Tante Tatianna. Om Ronald juga."

     "Dan yang sudah tahu dari tahun lalu siapa?" Edwin bertanya seakan sudah tahu jawabannya.

     Tenggorokkan Rose terasa kering saat menyebut nama adiknya, "Alyssa."

     Edwin berdecak dan membuang pandangannya ke jendela. "Alyssa," ulangnya pelan.

     "Papa, nanti jangan marah sama Alyssa. Aku yang minta dia diam. Kalau Papa mau marah, marah sama aku. Jangan sama Alyssa," pinta Rose.

    Tidak mungkin Edwin marah kepada Rose. Ia sudah cukup merasa gagal menjadi seorang ayah dengan membiarkan anaknya menerima kekerasan selama satu tahun. Karena apa? Karena perusahaannya nyaris bangkrut.

     "Papa," panggil Rose pelan, menahan tangis. Ia ingin menangis bukan karena Raeden menyakitinya, namun karena ia melihat kedua orang tuanya hancur di depan matanya.

    Melihat Edwin ataupun Iris tidak merespons, Mikael yang sedari tadi diam mulai berbicara, "Foto-foto ini bukti kalau Raeden melakukan kekerasan. Beberapa diambil dari CCTV penthouse Rose. Beberapa foto luka-luka ini difoto oleh Rose ketika Raeden selesai—"

    Mikael menahan ucapannya dan diam beberapa saat. Ia melanjutkan, "Namun, kasus ini tidak akan dibawa ke pihak berwajib dan Rose setuju untuk hal itu."

    Edwin menatap Mikael tajam. "Apa maksud kamu tidak akan dibawa ke pihak berwajib? Kamu pikir saya akan terima Raeden berkeliaran begitu saja tanpa mendapatkan hukuman yang seharusnya dia dapatkan? Sudah cukup kamu menikahi anak saya diam-diam dan menutupi semua kejadian ini dari saya, Michael Leclair. Kalau kamu benar-benar mencintai anak saya seperti yang kamu bilang di awal, maka kamu akan langsung memasukkan Raeden ke balik sel di detik kamu tahu dia menyakiti anak saya! Kamu tidak akan menutupi ini semua dan diam seperti pengecut, Michael."

    "Papa!" Rose memekik ketika Edwin selesai membuat Mikael merasa terpojok. "He's helping me! Papa tidak bisa bicara seperti itu kepada Mikael—for God's sake."

    Lalu ruangan kerja Edwin hening lagi. Rumah kediaman Asmaralaya tiba-tiba terasa dingin, kehilangan kehangatannya.

    Rose melirik Mikael. Pria itu kembali terdiam dengan tangan gemetar dan bahu terkaku. Untuk pertama kalinya, Rose melihat sebuah ketakutan di mata Mikael yang tidak pernah pria itu tunjukkan sebelumnya. Selama ini, Michael Leclair dinilai dunia sebagai pria yang dihormati, disegani, dan dikagumi karena ia berkuasa. Namun, untuk pertama kalinya, Mikael merasa kehilangan itu semua dan Rose menyadarinya. 

    Mikael merasa seperti itu karena memang ia sedang menganggap dirinya seorang pengecut. 

    Rose kemudian meraih tangan Mikael dan menggenggamnya, membuat jemari mereka saling berpautan. Mikael menoleh kepadanya dan sorot mata pria itu semakin ingin membuatnya menangis. Ia tersenyum sebelum mengangguk dan berkata tanpa suara, "It will be fine."

Fleurs Séchées | The Golden Shelf #1 [RE-WRITE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang