0.1 Al

7.2K 591 22
                                    

Najaya, kalo ada yang menyebut nama itu, semua pikiran orang-orang hanya akan tertuju pada satu kesimpulan; rumah sakit terbesar di Indonesia dan Singapura

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Najaya, kalo ada yang menyebut nama itu, semua pikiran orang-orang hanya akan tertuju pada satu kesimpulan; rumah sakit terbesar di Indonesia dan Singapura. Dan gua, Algara Najaya, adalah satu-satunya pewaris rumah sakit yang dibilang terbesar di dua negara itu.

Menjadi satu-satunya penerus membuat gua harus ekstra luar biasa, baik dalam pengetahuan, sikap, penyelesaian masalah, dan hal-hal lainnya. Gua harus luar biasa dan harus jadi nomor satu dalam setiap hal sesuai dengan apa yang Ayah gua selalu katakan; kamu pewaris satu-satunya, jadi kamu harus selalu jadi nomor satu. Hal itulah yang bikin gua selalu begadang tiap hari cuma buat menyelesaikan 10 soal matematika yang diberikan oleh guru les gua saat kecil dengan level yang sebenarnya nggak sesuai dengan takaran anak berusia tujuh tahun, lalu ada juga pelajaran kedisiplinan yang membuat gua harus siap tahan banting, dilatih keras untuk patuh dan bertindak sesuai dengan peraturan yang ada, dibentuk sebagai pribadi yang lurus dan hanya fokus pada satu tujuan; menjadi pewaris.

Kalo kalian kira enak jadi pewaris, mending pikir lagi dan lagi deh, nggak enak banget. Dulu, gua umur tujuh tahun itu nggak bisa yang namanya pulang sekolah langsung main, kelayapan sampai sore hingga badan dekil sama tanah ataupun bau matahari, gua justru dikurung di kamar dengan seorang guru privat dan puluhan buku-buku pembahasan super berat dan tebal yang bahkan harus gua hapal dan gua pahami.

Berat? Banget. Dulu gua selalu merengek dan merengek buat main, tapi orang tua gua selalu ngomong kalo mereka bisa ajak gua main ke wahana bermain atau taman rekreasi di akhir bulan dan menyuruh gua untuk belajar, belajar, dan belajar. Padahal sebenernya yang gua butuhin itu cuma mau main sama anak-anak seusia gua yang sering teriak-teriak sambil saling mengejar dengan pistol mainan di tangan mereka di jalanan komplek bersama dengan para babysitter mereka. Tapi itu angan-angan gua waktu umur tujuh tahun, lama-lama, semakin gua tumbuh dewasa, gua mulai menjalani apa yang memang harus gua jalani dan menerima semuanya dengan pikiran; ini untuk gua dan keluarga Najaya juga. Dan akhirnya berdirilah gua disini sebagai seorang Algara Najaya, sang pewaris dari keluarga Najaya, calon pemiliki rumah sakit terbesar di Indonesia dan Singapura selanjutnya.

Sambil menyampirkan tas di salah satu bahu gua yang sebenarnya hanya berisi buku-buku tambahan yang ada di rumah untuk menunjang studi gua di kampus, gua berbalik dan tersenyum pada Buna-sebutan yang selalu gua gunakan dari kecil hingga sekarang untuk memanggil wanita yang telah melahirkan gua ke dunia.

"Aku pergi yah, Bun?"

"Hati-hati. Kalo makanan disana nggak enak, Buna bisa kirimin masakan setiap hari buatmu."

Gua tersenyum. "Enak, Bun, apalagi ada Hez yang setiap hari eksperimen masak, jadi udah pasti makanan disana enak."

"Hez? Yehezkiel from Nareyanto's family?"

"Yap," angguk gua. "Don't worry about me."

Buna tampak bernafas lega. "Buna selalu khawatir kalo kamu temenan sama orang-orang aneh di kampus, but thanks god, you don't."

The Heirs [SVT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang