19 : Ini semua karena jidat Ica!

67.5K 12K 9K
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Bara mendadak canggung dengan suasana sekitarnya yang masih terasa asing baginya. Ruang tamu yang tersambung langsung dengan ruang makan dan dapur, Dua pintu kamar yang ada di ruang tamu, sebuah tangga sempit yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai dua-loteng tempat ibu hendera menjemur baju.

Memegang gelasnya, sesekali memutar gelisah, bara berharao hendera cepat-cepat kembali dari pos posyandu kampung. Ia sudah kelewat canggung disini. Beberapa menit yang lalu, sang teman berpamitan kepada bara untuk pergi ke posyandu, menghampiri sie kesehatan dan gizi dan memberikan dua kardus biskuit bayi. Meninggalkan bara di rumahnya, bersama dengan sang adik bungsu dan juga kedua orang tua hendera yang baru saja pulang dari pasar, sibuk berkutat di dapurnya.

Berusaha menelan jauh-jauh rasa canggungnya, bara mengedarkan pandang. Menelusuri ruangan tamu berukuran sedang, dengan kursi kayu sebagai tempat duduknya. Terdapat sebuah meja di pojok dekat jendela, berisi berbagai macam bingkai foto dan medali entah milik siapa. Sang sulung bara memberanikan diri, berdiri dan sedikit mendekat guna melihat siapa saja yang ada di himpitan bingkai usang itu.

Lucu pikirnya. Banyak sekali foto keluarga berjajar rapi disana. Rupa-rupanya, keluarga hendera sering menghabiskan quality time bersama. Dilihat dari bagaimana foto-foto itu diambil di berbagai tempat outdoor yang berbeda. Pantai, gunung, coban. Ah-momen keluarga hendera diabadikan dengan baik lewat sebuah kertas foto.

Menelisik lagi, bara dapat melihat foto hendera kecil. Tanpa sadar ia terkekeh, tak berubah sama sekali wajah temannya dari kecil.

"Itu fotonya hendera waktu dia masih umur lima tahun, waktu itu dia habis ngompol, bapaknya malah ambil foto."

Bara tertegun, mendapati suara halus memekik telinganya. Ia menoleh, mendapati Asa-ibunda Hendera yang baru saja datang dari dapur, membawa sebuah nampan dengan secangkir teh hangat, meletakkan pelan minuman itu di meja, mempersilahkan supaya Bara menikmatinya.

Asa tersenyum, "Hendera pernah cerita ke ibu, kamu namanya Bara ya?"

Bara mengangguk dengan senyuman canggungnya, "i-i-ya tant-"

"Walah le le, ndak usah manggil tante-tantean segala, ndak pantes aku dipanggil begitu. Panggil ibuk saja, biar lebih akrab." Asa kemudian duduk, ingin mengobrol lebih panjang kepada Bara, yang membuat sang pemuda bersurai pekat menggaruk tengkuk gugup. Bara kemudian mengambil duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi tempat Asa duduk.

"Kamu anak sulung juga ya?"

"Iya tan-maksudnya, buk."

Asa tersenyum lagi, "maaf ya le, rumah ibuk kecil. Bara nggak terbiasa ya? Nanti ibuk bisa suruh hendera tidur sama adik cowoknya, biar kamu bisa tidur di kamar hendera."

Anargya | Jaeyong & Nomin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang