Halooo, saya kembali! Maaf ya, lambat update. Saya kan kemarin liburan. Maklum, baru pulang. Oke, siap ketemu Ana dan Pierre? Sebelum itu, vote dulu yak! Semisal masih ditemukan typo di part ini, saya mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan.
Happy reading😉
°°°
Sekitar jam setengah enam pagi, Ana iseng-iseng keluar rumah. Niat hati ingin sekadar menghirup udara segar, namun nyatanya ia juga bertemu Pierre di luar. Saat Ana baru berdiri beberapa menit di luar teras, ia melihat Pierre keluar dari Paviliun Ajudan.
Ana yang melihat Pierre melintas, tiba-tiba saja bertanya, "Woi! Mau ke mana lu?!"
"Anjir! Kek ngajak temen akrab ngobrol aje gue! Pahlawan Revolusi nih! Ana goblok!" batin Ana menyesal, sedetik dari ia melontarkan pertanyaan.
Pierre yang mendengar suara Ana, sempat berhenti sebentar. Pria itu menoleh. Saat ia tahu jika yang menyapa barusan adalah Ana, pria itu mendengus.
"Bukan urusanmu, mau tau saja!" jawabanya ketus.
"Woiii! Gue ini nanya tandanya peduli! Kepo dikit sih," balas Ana bersuara rendah di akhir kalimat. Ana lalu maju selangkah. "Serius, lo mau ke mana? Lo jangan keluar subuh-subuh buta begini, Pierre. Entar lo kena culik,"
"Kamu ini terus membahas pasal penculikan. Ada apa sih?" decak Pierre jengah.
Sontak Ana panik, sebab ucapannya berhasil membuat Pierre penasaran. Setelah Ana pikir-pikir, memang ia banyak berkata tentang penculikan. Bagaimana tidak? Ana di kelilingi orang-orang yang akhir hidupnya di culik oleh sebuah organisasi terlarang. Jadinya, Ana suka spontan berceletuk mengenai tragedi itu.
"Ya, lo--logis aja sih menurut gue. Kan bisa aja lo di culik orang. Kita gak tau takdir! Setidaknya kita berjaga-jaga lah!" alibi Ana terbata-bata. Kentara sekali kalau wanita itu sedang gugup.
"Sebelum penculik itu menculik saya, saya duluan yang menculik dia." ucap Pierre enteng, sementara Ana syock bukan main.
"Heh, jangan maen-maen lo! Gue lagi serius, anjir! Bercanda mulu lo ah!"
"Tidak ada yang bercanda, pintar!" timpal Pierre cepat, membuat Ana bungkam. Benar juga ucapan Pierre itu. Karena malu sudah berucap salah, cepat-cepat Ana mengalihkan pembicaraan.
"Yaudah, lo mau ke mana dah? Dari tadi gue tanyain, tapi lo gak jawab-jawab,"
"Lari pagi!" dengus Pierre, setengah hati menjawab.
Mata Ana seketika berbinar cerah. "Hah, mau lari pagi? Ikut dong! Boleh gak?!"
"Tidak boleh!" tolak Pierre tanpa pikir panjang. Penolakan Pierre itu langsung melenyapkan raut antusias Ana menjadi cemberut.
"Dih, kok gak boleh? Kenapa?!"
"Ingat kakimu itu! Kaki sedang terluka, mana bisa diajak berlari,"
"Tapi kan, kejadiannya udah seminggu yang lalu. Kaki gue udah sehat kok." Ana menggerak-gerakkan kakinya yang sempat terkena cidera seminggu lalu.
Kakinya sudah benar-benar sembuh. Tidak lagi terasa sakit saat diinjak ataupun digerakkan. Dengan cara itu, ia meyakinkan Pierre. Siapa tahu setelah itu Pierre berubah pikiran, jadi mau mengajaknya.
"Tetap tidak boleh! Saya tidak mau ambil risiko kerepotan nantinya."
Bibir Ana cemberut. Cara Ana tadi tidak mumpan juga untuk meyakinkan Pierre.
"Pelit banget sih! Kalo lo gak mau ajak gue lari pagi, gue--"
"Apa? Kamu mau apa?" potong Pierre menghentikan ucapan Ana. Beberapa detik Ana dibuat bungkam. Tapi tidak bertahan lama, Ana kembali melanjutkan ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me, the Adjutant's Lover (Pindah ke Karyakarsa)
Historical FictionTertidur saat menonton film G30S/PKI bersama Papanya. Bangun-bangun Ana sudah berada di kediaman keluarga Jendral Besar Abdul Haris Nasution, salah satu pelaku film sejarah yang ia tonton. Selain bertemu Jendral Nasution, Ana juga bertemu keenam Jen...