Semisal masih menemukan typo saat membaca part ini, saya mohon maaf ya. Sudah saya revisi, tapi kan, manusia tidak luput dari kesalahan. Sebelum baca, VOTE & COMMENT yaa. Hargai penulis. Oke, sider? Eh, maksudnya readers😂
Happy reading🤗
°°°
Ana menutup pintu kamarnya. Hari sudah menjelang sore. Pekerjaan rumah sudah ia selesaikan. Waktunya Ana mengistirahatkan diri di kamar. Setelah sampai di kamar, Ana melamun menatap kosong ke arah jendela. Tiba-tiba saja ia terpikir rumah dan keluarganya.
"Kira-kira Mama Papa lagi ngapain sekarang? Obat sore udah Papa makan nggak ya?" gumam Ana bertanya-tanya tidak pasti. Ana menghembuskan napas berat. Dadanya tiba-tiba sesak memikirkan nasib keluarga tercinta.
"Kenapa gue yang harus terlempar di zaman ini? Huh, Allaahhh! Kayak gak ada orang lain lagi. Setidaknya yang lebih bener dari gue, lah. Udah tau gue bobrok begini, malah ngelempar gue ke zaman ini. Gak ada untungnya!" celoteh Ana kepada angin yang berhembus.
Di sini, Ana tidak punya teman curhat. Bukan tidak punya, tapi lebih ke Ana-nya yang harus berhati-hati setiap mengeluarkan sepatah kalimat. Jika sedikit saja ia berucap salah, semisal membocorkan tragedi 65, bisa kacau. Alhasil, Ana memendam apa yang ada di hatinya seorang diri.
Ana menggit kukunya, sambil mulai berpikir beberapa kemungkinan. "Kalau dari film-film yang gue tonton, hal semacam ini pasti ada maksud. Allah ngelempar gue kemari, mustahil gak ada penyebabnya. Tapi, apa? Gue bloon begini, mana bisa mikir hal yang rumit. Anjer lah!"
Ana mengumpat. Memikirkan hal ini malah membuat otaknya panas. Niat hati ingin merilekskan diri dan pikiran, malah justru sebaliknya. Hati Ana jadi tidak tenang.
Mendadak alis Ana berkerut, "Terakhir kali... Gue sadar di mari pas tiduran kan?" jeda tiga detik, Ana membalikkan badan menatap kasur di belakang. Lantas, ia menjentikkan jari. "Hah, mungkin gue kudu baring di ranjang ini kali ya? Terus, tiduran dan pas bangun... Mungkin aja gue balik di tahun dua ribu dua puluh."
Setelah dipikir-pikir, Ana rasa itu ide yang masuk akal menurut otaknya. Senyum Ana langsung mengembang.
"Oke, kita rebahan!" putus Ana, mulai naik ke kasur lalu memasang posisi berbaring lurus.
Beberapa menit Ana menutup mata, tapi tidak terjadi apa-apa. Ana membuka mata kembali, lalu mengedarkan pandangannya.
"Gak terjadi apa-apa," detik berikutnya, Ana berteriak frustasi. "Aghh! Gue masih di mari, gimana nih?! Jangan bilang, gue bakal selamanya di sini?!"
Memikirkan kemungkinan buruk itu, Ana jadi ngeri sendiri. "Omaigad, no, no, no! Gue gak mau menghabiskan sisa hidup gue di zaman ini! Ya Allah, Tuhan... Please! Gue ini terlahir sebagai anak milenial, masa nasibnya malah di sini?! Gak salah?!" Ana menangkupkan kedua tangannya ke atas, memohon dengan tatapan belas kasih.
YOU ARE READING
Me, the Adjutant's Lover (Pindah ke Karyakarsa)
Historical FictionTertidur saat menonton film G30S/PKI bersama Papanya. Bangun-bangun Ana sudah berada di kediaman keluarga Jendral Besar Abdul Haris Nasution, salah satu pelaku film sejarah yang ia tonton. Selain bertemu Jendral Nasution, Ana juga bertemu keenam Jen...