Part 1

190K 8.2K 57
                                    

Aku mengenal Rara sejak kami duduk di bangku sekolah menengah, saat itu aku adalah murid pindahan dari Yogyakarta. Rara adalah teman pertamaku sekaligus teman sebangku saat itu. Awal pertemuan kami memang terjadi begitu saja.  Rara yang mudah bergaul membuatku tidak ragu-ragu untuk berteman dengannya. Rara yang ceria selalu menemaniku di tengah lingkungan baru itu. Dari sejak itu kami selalu bersama, menghabiskan masa-masa SMA bersama.

Kami bahkan diterima di kampus yang sama, tapi dengan jurusan yang berbeda. Aku dengan jurusan ekonomi dan Rara dengan jurusan manajemennya. Entah takdir atau sebuah kebetulan kami lulus dan di wisuda dalam angkatan yang sama. Tidak ada yang pernah berubah dari persahabatan di antara kami. Semua perbedaan yang kami miliki membuat kami semakin dekat. Tidak ada alasan bagi kami untuk berjauhan, malah hubungan persahabatan kami semakin erat bahkan aku sudah menganggapnya seperti saudaraku sendiri. Boleh di bilang Rara adalah bagian penting dalam hidupku.

Siang yang cerah, tidak secerah raut wajah Rara saat menemuiku di restoran saat itu. Wajahnya berderai air mata. Yang kutahu ada sedikit masalah yang terjadi pada keluarga Rara. Hanya hal itu yang aku tangkap saat Rara menelponku satu hari sebelumnya. Lalu Rara kembali bercerita tentang masalah yang dihadapi oleh kakaknya. Kami memang telah bersahabat cukup lama, tapi aku tidak pernah sekalipun bertemu dengan kakaknya. Yang aku tahu Rara memiliki satu orang kakak laki-laki yang sudah menikah dan tinggal di kota yang berbeda. Hanya sebatas itu saja aku mengetahuinya.

Masih dengan suara yang serak Rara memeluk tubuhku dengan erat, aku sebagai sahabatnya. Hanya bisa menguatkannya saja. Sama seperti Rara aku tidak mempunyai solusi akan itu. Hingga kata-kata Rara membuat aku diam seribu bahasa.

“Boleh aku minta tolong pada mu, Ras “ ini memang bukan pertama kalinya Rara meminta tolong kepadaku. Tapi permintaan kali ini terasa sangat berat. Seolah sangat berbeda dengan permintaan yang lalu. Entah perasaan aku saja, atau memang aura serius dan penuh harap dari Rara. Membuat aku tidak tega untuk menolaknya. Hingga aku menganggukkan kepala begitu saja.

“Tolong menikahlah dengan Mas ku” deg, betul saja jantungku mulai berdegup dengan kencang. Inginku tertawa mendengar candaan dari Rara, namun sungguh sayang wajah serius yang Rara tampakkan menandakan Rara tidak dalam keadaan bercanda.

“Mau ya Ras, tolong aku. Entah mengapa tapi feeling tentang ini begitu kuat. Hanya kamu yang pantas bersanding dengan Mas ku. Tolong Ras, bantu aku lagi kali ini !” Rara mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan tangannya menggenggam dengan erat tanganku sekarang.

“Tapi Ra” Rara terus saja memohon, wajah penuh harapnya lagi-lagi membuat aku tak kuasa menolak permintaannya.

“Baik Ra” pada saat itu, yang ku pikirkan adalah keadaan Rara apa salahnya untuk mencoba. Bisa saja Rara besok lupa akan permintaannya. Lagi pula tidak mungkin kami menikah begitu saja. Harus ada proses saling mengenal diantara kami. Belum tentu juga kami akan berjodoh, segala sesuatu bisa terjadi. Perubahan raut wajah Rara hari itu membuat aku yakin bahwa menyetujui permintaannya adalah hal yang benar.

“Terima kasih Ras” Rara kembali memelukku dengan erat. Aku pun mengusap punggungnya dengan pelan. Namun satu hal yang ternyata belum aku sadari saat itu, menyetujui permintaan Rara sama saja dengan merubah jalan hidupku ke depannya. Jika dulu aku menganggap Rara sudah seperti saudaraku sendiri, kini aku menyandangnya. Begitu mudahnya Allah SWT membalikan sebuah keadaan dari yang hanya menganggap berubah menjadi nyata.





Bersambung

Jadi Bunda [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang