Part 4

89.3K 6.7K 61
                                    

Kulihat Mas Rijal berjalan ke arah kami, aku kira setelah menidurkan Rasya, Mas Rijal tidak akan kembali. Aku kira dia akan ikut tidur bersama dengan Rasya. Tebakanku jelas salah, Mas Rijal duduk di samping Umi. Kedua tangannya memeluk umi dengan erat. Satu tangannya, Umi gunakan untuk menggenggam tangan Mas Rijal, dan untuk satu tangannya lagi umi tidak pernah melepaskan genggaman tanganku. Akhirnya, Mas Rijal yang memeluk Umi dengan tangan Umi yang bertautan dengan kami. Hari ini rasanya begitu panjang dan melelahkan. Bukan Cuma lelah batin tapi lelah fisik juga.

Beban terberat ditanggung oleh Mas Rijal, selain berpikir untuk kesembuhan Rasya pasti mas Rijal juga memikirkan kedua orang tuanya. Rasa bersalah yang Mas Rijal rasakan tidak mungkin hilang begitu saja. Dihapan Rasya, Mas Rijal harus terlihat baik-baik saja. Dan tadi dihapan kami pun Mas Rijal harus terlihat tegar.  Mungkin, malam ini Mas Rijal juga merasa sangat lelah. Maka dari itu Mas Rijal datang kepada Umi dan memeluknya, seorang ibu memang selalu akan menjadi sandaran bagi setiap anaknya. Tanpa perlu banyak kata pun ibu pasti tahu apa yang sedang anaknya rasakan. Dulu,  ibuku juga pernah berberkata. Anak  laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya. Dan sekarang memang telah terbukti aku melihatnya sendiri. Tapi bukan berarti anak perempuan juga tidak dekat dengan ibunya.

"Sabar Mas pasti ada jalan" Benarkan, Semarah-marahnya orang tua tetap akan memaafkan anaknya. Umi yang tadi penuh dengan amarah kini berubah menjadi seorang ibu yang penuh dengan kelembutan. Tatapan teduhnya membuat semua orang betah memandangnya. Umi jelas tahu beban berat yang sedang Mas Rijal tanggung sekarang. Melihat Umi, aku jadi merindukan Ibu baru beberapa jam kami terpisah tapi rasanya terasa sangat lama. Besok akan aku telepon Ibu, kasihan jika sekarang pasti ibu sedang beristirahat. Baik ibu atau pun Umi mereka adalah panutanku. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa seperti mereka, menjadi tempat keluh dan kesah bagi Rasya.

Umi bangkit lalu berpamitan untuk beristirahat, kasihan Umi di usianya yang harusnya bahagia bermain bersama sang cucu harus tertunda dengan duka. Mas Rijal bergeser lalu mendekatiku hingga kami duduk berdampingan. Lalu mas Rijal memandang ke arahku. Di malam pengantin kami, baru bisa aku lihat dengan jelas wajah tampannya. Hidungnya yang mancung, bulu mata yang lentik membuat aku iri saja.

"Maaf ya Ras, Mas harus bawa kamu ke kehidupan Mas yang rumit ini. Mas berharap Laras tidak akan pernah menyesal menjadi bagian hidup Mas" terhitung sudah dua kali Mas Rijal meminta maaf kepadaku. Mas Rijal adalah laki-laki yang baik dan aku amat menyadari itu. Tidakkah mantannya menyesal telah menyia-nyiakan Mas Rijal dan Rasya. Sebenarnya apa yang kurang dari mereka. Mas Rijal adalah laki-laki yang bertanggung jawab Rasya juga seorang anak yang manis aku yakin itu. Bahkan tidak ada celah untuk menyia-nyiakan mereka. Namun ini sudah menjadi kuasa Allah SWT, akan selalu ada peran antagonis dalam kehidupan. Agar kita tahu seberapa sabar peran protagonis untuk menghadapinya.

"Bismillahirrahmanirrahim, Laras tidak akan pernah menyesal dengan keputusan yang telah Laras ambil. Mari berjuang sama-sama Mas" kali ini aku melemparkan senyum kepadanya. Tanpa di duga Mas Rijal pun membalas senyumanku. Jantung berdetak dengan kencang, baru kusadari ternyata Mas Rijal juga memiliki lesung pipi. Apakah aku sudah menyukainya, secepat itukah hatiku berlabu. Mengingat sejak tadi aku terus saja memuji Mas Rijal.

"Terima kasih, harusnya Mas yang bilang. Bismillahirrahmanirrahim, semoga keluarga kita menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Semoga keluarga kita selalu dirahmati dan dilindungi oleh Allah SWT. Laras istriku, Semangat !" Dan aku merasakan genggaman tangan kami semakin erat. Pertama kali aku merasakan genggaman seorang pria dan itu berasal dari suamiku rasanya begitu hangat.

Bersambung

Maaf kalau pendek ...

Jadi Bunda [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang