第十九章 Bab 19

22 8 0
                                    

Now playing: Summer Breeze 被风吹过的夏天 by JJ Lin ft.Jin Sha

Beberapa hari setelah kejadian itu, saat akhir pekan di penghujung musim gugur, Zhao Nan mengirim pesan WeChat pada Chen Ai dan mengajak wanita itu untuk jalan pagi bersama. Chen Ai menyetujui ajakan itu dan sekalian berniat memperjelas kejadian di Haoledi Karaoke lalu secara langsung dengan Zhao Nan.

Jadi, pada pukul 08.00 di hari Minggu itu, setelah mandi, Chen Ai berdiri di hadapan cermin kamarnya. Ia awalnya ingin tampil kasual dengan celana training dan kaus olahraga, tetapi di depan Zhao Nan, mau tak mau ia tetap memusingkan hal-hal kecil lainnya, seperti bentuk kunciran rambut, warna lipstik, jenis bedak, dan lain-lain. Akhirnya, Chen Ai memutuskan untuk berdandan tipis dan mengikat rambut sebahunya membentuk ekor kuda tinggi. Ia bahkan menyemprotkan sedikit parfum aroma citrus merek BeLook di tangan dan ujung-ujung pakaian. Setelah merasa puas dengan penampilannya, Chen Ai pun keluar apartemen.

Chen Ai berjalan kaki sebentar menuju Xuhui Riverside Park yang berjarak beberapa ratus meter dari apartemennya. Di sana, Zhao Nan sudah menunggu di sebuah bangku taman putih sambil mengecek handphone. Chen Ai menyunggingkan senyum, lalu mengambil handphone di sakunya. Ia mengirimkan pesan WeChat ke Zhao Nan.

Chen Ai: Aku sudah sampai.

Zhao Nan: Aku juga sudah sampai. Kau di mana?

Chen Ai mendongak ke arah Zhao Nan yang berada beberapa meter darinya. Begitu Zhao Nan mengalihkan pandangan dari handphone, pandangannya langsung bertemu dengan Chen Ai. Pria itu berlari kecil menghampiri Chen Ai.

Hari itu Zhao Nan memakai kaus putih polos dibalut jaket warna abu-abu dan celana olahraga panjang. Pria itu terlihat semakin tampan di mata Chen Ai. Chen Ai memandang Zhao Nan yang sedang mendekat sambil tersenyum. Begitu Zhao Nan sampai di hadapannya, pria itu berkomentar, "Hari ini kau cukup cantik."

Chen Ai merasa wajahnya menghangat begitu mendengar sanjungan itu. "Memang biasanya aku bagaimana?" sahutnya dengan nada pura-pura tidak peduli.

"Kau biasanya ...." Zhao Nan menggantung kalimatnya, lalu mencondongkan tubuh dan mendekatkan wajahnya ke wajah Chen Ai. Chen Ai menelan saliva dengan susah payah, lalu mundur selangkah.

"Aku biasanya apa?"

"Kau biasanya tidak pakai parfum sewangi ini," jawab Zhao Nan cepat. Kemudian, ia menegakkan tubuhnya kembali.

"Kau—" Chen Ai mendengkus, lalu berdecak kesal. Pria selalu seperti itu. Mereka mengharapkan wanita berdandan dengan cantik. Namun, begitu para wanita berdandan, mereka akan menggodanya seakan-akan hal itu berlebihan, memalukan, dan tidak alami. Memangnya siapa, sih yang tidak ingin menjadi cantik?

Chen Ai menatap Zhao Nan dengan sebal. "Ini hanya parfum bonus dari BeLook, aku bukan khusus membelinya untuk bertemu denganmu. Kebetulan ada sisa penjualan dari gudang, jadi kami mendapat bagian. Sayang kalau tidak dipakai," dalihnya.

Meskipun sedikit tidak berhubungan, tetapi dalih yang diucapkan Chen Ai itu sungguhan. Parfum itu benar-benar bonus dari kantor. Meskipun ini pertama kalinya Chen Ai menggunakan parfum itu, tetapi bukan berarti ia menguras dompetnya khusus untuk bertemu dengan Zhao Nan. Tidak seperti sembilan tahun lalu, ketika ia membelikan susu cokelat khusus untuk Zhao Nan setelah pria itu bermain basket. Tahun itu, susu cokelat bukan minuman biasa,. Itu minuman orang berkelas. Chen Ai sengaja membelikan minuman itu untuk Zhao Nan. Namun, pada akhirnya ia harus berbohong dengan berkata ia membelinya dengan uang kas klub jurnalistik.

Zhao Nan tersenyum sambil mengangguk. "Baiklah. Aku percaya padamu." Ia memandang Chen Ai yang sedang menggesek kedua tangannya satu sama lain. Udara musim dingin memang sudah terasa dan suhu terus menurun belakangan ini. Zhao Nan meraih tangan kanan Chen Ai, meletakkan tangan mulus itu di antara kedua tangannya, kemudian menggosoknya.

"Aiya ... kau sedang apa?" Chen Ai buru-buru menarik tangannya. Ia kemudian melihat ke sekeliling dengan gelisah.

"Kau kedinginan, kan? Aku bantu menghangatkan," jawab Zhao Nan percaya diri.

Chen Ai memasukkan tangan yang baru saja dihangatkan Zhao Nan tadi ke saku celananya. "Ada orang lihat bagaimana?"

"Kita ada di tempat umum, pasti ada orang yang melihat."

Chen Ai berdecak. "Maksudku, bagaiman kalau ada rekan kantor yang melihat?" Ia menghela napas sambil menunduk, lalu melanjutkan ucapannya. "Kau tahu, aku masih berada di hubungan yang ambigu dengan—"

"Chen Ai!" panggil Zhao Nan tiba-tiba. Chen Ai spontan mendongak. "Ayo, kita jalan." Pria itu menggenggam tangan Chen Ai sebentar dan mengajaknya untuk mulai berlari kecil mengelilingi Xuhui Riverside Park. Setelah beberapa saat, pria itu melihat ke sekeliling, lalu melepas tangan Chen Ai lagi.

Chen Ai mengembuskan napas lega, lalu berlari kecil-kecil dengan tenang. Selama beberapa saat, tidak ada yang mengangkat pembicaraan di antara mereka. Chen Ai merasa ini saat yang tepat untuk berbicara mengenai kejadian di Haoledi Karaoke beberapa hari yang lalu.

"Zhao Nan," panggil Chen Ai sambil terus berlari kecil.

"Hm?"

"Aku ... ehm ... kau masih ingat kejadian di Haoledi Karaoke beberapa hari yang lalu?" tanya Chen Ai hati-hati.

"Ingat."

Chen Ai menggigit bibir bawahnya. Bagian apa yang kau ingat? Chen Ai mengerang dalam hati. Ia bertanya, "Kalau begitu, soal aku yang waktu itu mabuk, lalu—"

Zhao Nan terkekeh pelan. "Kau tidak perlu terlalu gugup. Aku tidak menganggap hal itu memalukan, kok. Kupikir itu cukup lucu," ujarnya ringan sambil tetap menghadap depan.

Chen Ai membelalak dan menoleh menatap Zhao Nan yang masih berwajah santai. "Kau bilang apa? Lucu?!"

"Hmm." Zhao Nan tersenyum lebar.

Chen Ai berjalan sambil melamun, lalu tertawa kering. "Haha ... iya juga. Pasti pemandangan itu lucu bagimu."

"Bukan! Bukan dalam konteks seperti itu," sanggah Zhao Nan. Zhao Nan mendadak menghentikan langkah. "Sebenarnya, ehm ... sebenarnya ini sudah sejak beberapa minggu yang lalu. Kupikir aku merasa aku—"

Handphone Zhao Nan bergetar beberapa kali. Zhao Nan menghela napas berat. Kupikir aku menyukaimu, Chen Ai. Zhao Nan menatap Chen Ai sekilas, berharap menemukan ekspresi wajah Chen Ai yang tak sabar menunggu kelanjutan ucapannya. Namun, pada kenyataannya, Chen Ai memandang saku celana Zhao Nan dengan tatapan mendesak yang seolah berkata, "Mengapa kau membiarkan handphone-mu bergetar terus? Cepat angkat dulu."

Zhao Nan mengembuskan napas kasar. Baiklah. Mungkin aku akan mengatakan hal ini padamu kali selanjutnya. Ia mengambil handphone dari saku, lalu mengangkat telepon.

"Halo? Iya, ini Zhao Nan. Benar, aku sedang di Shanghai. Mau apa ke sini juga? Apa? Di rumah sakit mana? Oh ... baiklah, baiklah. Terima kasih informasinya. Aku akan segera kesana. Sebentar, ya. Ah, baiklah. Terima kasih banyak." Nada suara Zhao Nan terdengar panik ketika menerima telepon. Begitu telepon terputus, ia langsung membuka laman SMS dengan orang yang meneleponnya tadi. Orang itu meninggalkan sebuah nomor dengan keterangan: Hu Shi di rumah sakit Wuhan. Setelah menambahkan kontak, Zhao Nan memasukkan handphone-nya kembali ke saku dengan gelisah.

"Ada apa? Siapa yang masuk rumah sakit?" tanya Chen Ai khawatir.

"Mamaku. Aku menerima telepon dari tetangga yang menemukan mamaku pingsan di depan rumah. Mamaku sesak napas. Katanya alat bantu pernapasan di rumah sakit Wuhan sedang habis, karena akhir-akhir ini banyak orang flu. Jadi mamaku dipindahkan ke Shanghai," jelas Zhao Nan cepat.

Chen Ai tahu, bagi Zhao Nan, ibunya adalah segalanya. Ia pun ikut khawatir. "Kalau begitu, bagaimana?"

"Aku mau ke rumah sakit untuk mengurus administrasi kamar dan menjemput mamaku. Maaf, Chen Ai. Aku tidak bisa menemanimu jalan lagi." Zhao Nan terlihat semakin gusar.

"Tidak masalah. Aku ikut denganmu saja," sahut Chen Ai cepat.

Mendengar tanggapan itu, timbul sepercik semangat dalam hati Zhao Nan. "Baiklah. Ayo." Ia menggenggam tangan Chen Ai dan mengajak wanita itu masuk ke mobilnya yang diparkir di bagian timur taman.

Footnote:

Hù Shì 护士= [Bahasa Mandarin] Perawat.

Heal A Heart [COMPLETED]Where stories live. Discover now