22. Pembunuhan karakter

62 18 1
                                    

"Eh, hai," kataku terkejut.

"Ra, lo jatuhin makanan Mas ini?" tanya Sadam, "pantas aja lo berhenti ngejar gue," sambungnya.

"Gak sengaja, aku ganti ya makanan kamu."

"Aku.. kamu.." kata Sadam menatapku dan pria ini bergantian. "Coba ulangi, Ra. Apa gue gak salah dengar? Giliran sama cowok ganteng aja manggilnya aku kamu, giliran sama gue kagak. Padahal gue juga ganteng kok, Ra." Aku injak kaki Sadam. Ah, manusia ini menyebalkan sekali.

"Gak usah di dengerin, jadi gimana?"

"Gak usah, gak apa-apa," tolaknya.

"Jangan gitu, aku harus bertanggung jawab, kamu beli di depan, kan?"

"Tanggungjawab? Lo hamilin Mas ini?" seru Sadam. Aku sikut perut Sadam, manusia ini semakin gila, kalaupun hamil sudah pasti perempuan bukan laki-laki.

"Beneran gak apa-apa. Nanti aku beli lagi sendiri." ujarnya.

"Aku gak terima penolakan. Kamu tunggu di sini, aku beli makanannya dulu," kataku seraya menarik tangan Sadam.

"Apa sih tarik-tarik?" kesal Sadam.

"Bantuin nyebrang," ujarku. Sadam menoyor kepalaku kasar, lalu menggandeng tanganku menyebrang jalan.

Beberapa bungkus makanan sudah ditangan. Segera aku kembali ke parkiran dan menyerahkan makanan itu.

"Ini, sekali lagi aku minta maaf," ucapku.

"Iya, harusnya juga kamu gak perlu ganti makanan aku, Ra. Tapi karena kekeh juga kan, ya udah. Makasih ya."

"Ya udah kalau gitu, aku duluan ya. Sekali lagi aku minta maaf." Aku tarik tangan Sadam menuju motornya, sesekali aku berbalik, menatap punggung tegap yang lama aku rindukan.

"Lo kenapa sih? Aneh banget, Ra," tanya Sadam.

Aku menangkupkan kedua tanganku di pipi Sadam. "Lo tahu? Gue seneng banget, Dam. Tahu gak kenapa?" Sadam menggeleng, "doi yang tadi itu mantan gue, demi apa ucapan lo ajaib banget, baru tadi lo bilang gue bakal ketemu dia. Dan sekarang beneran ketemu dan dia mau ngomong sama gue."

"Gue tahu lo seneng, tapi bisa gak ini tangan di turunin, sakit pipi gue."

"Iya maaf. Eh, bunyi apa nih kenceng banget," ejekku. Sungguh aku mendengar debar jantung Sadam, entah dia lelah atau salah tingkah.

Tuttt

"Kentut gue," ujarnya. Demi apa, bau sekali. Manusia jorok dan pinter ngeles ya Sadam.

"Ih, bau." Aku pukul bahu Sadam. Betul-betul bau telur busuk.

"Jadi, kita mau makan-makan dimana? Solaria?"

"Boleh, pake duit lo tapi." Sadam mendengus sebal. Bukan apa-apa, kalau makan di Solaria bisa-bisa kantong menangis, menjerit, meronta-ronta.

***

Setelah kejadian itu, beberapa hari setelah aku bertemu dia, tak aku sangka ia follow Instagram ku. Mengirimkan pesan, meski hanya saling sapa biasa dan minta nomor telepon juga ujungnya. Chattingan dengan doi jadi mood tersendiri, langkah awal membangun hubungan pertemanan kembali. Ah, Rifat terima kasih sudah menyapa.

"Sssttt, Ra." Aku melirik ke sumber suara, Rudi sedang bersama seorang perempuan, sepertinya pacar. Ketua kelas ku ini pacarnya baru lagi? Aku lewat depan Rudi, tak menyapa Rudi karena memang sedang sibuk membalas pesan dari Rifat.

"Ih, Mas. Yang sopan dong, masa lagi sama ceweknya juga berani colek-colek saya. Mbak, jagain pacarnya, kasih tahu tuh Masnya, jangan suka godain cewek kalau lagi sama pacar." Aku perhatikan wajah pacarnya Rudi, merah menahan kesal.

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Donde viven las historias. Descúbrelo ahora