20. Ketika urat malu pulang kampung

66 17 0
                                    

Mega lupa membawa biru pagi ini. Justru sang awan abu-abu yang ia ajak memulai hari.

Rintik hujan turun cukup deras pagi ini. Aku melirik jam menunjukkan pukul 4 pagi. Segera aku bangun dan mendirikan sembahyang subuh. Setelah selesai, aku membuka ponsel yang dari semalam tak sempat aku buka karena baterai habis.

Banyak notifikasi muncul dari grup kelas dan yang isinya adalah hujatan dan ocehan unfaedah. Awalnya membahas kepergian aku dan Sadam yang tidak bilang-bilang, sampai ujungnya membahas jenis kelamin ikan. Wtf, gak sekalian saja mereka bahas ada berapa jumlah kaki binatang kaki seribu. Ada juga spam chat dari Laras yang isinya tak jauh beda dengan yang di grup kelas.

P
P
P
Woy
Kutil
Bener-bener lo
Bisa-bisanya lo minggat sama Sadam berdua.
Baca dong, gue lagi marah nih.
Wah ngajak ribut.
Kenapa malah gak aktif?
Lo lagi ngapain sama si Sadam.
Ra
Baca woy.
Gak punya kuota lo.
Ra
P
P
Dasar kutil kuda.
Serah, gue capek

Aku memutar bola mataku malas. Di kampus nanti pasti akan dipusingkan dengan rentetan pertanyaan dari Laras. Ah, jadi teringat sesuatu. Hari ini tidak ada jadwal kuliah, tapi kenapa semalam Sadam bilang ke Ayah mau jemput dan berangkat kuliah bareng?

Dan jam delapan pagi, Sadam benar-benar datang menjemput.

"Kok masih pake baju tidur?" tanya Sadam.

"Ngampus libur, lo mau kemana?"

"Motor emang gak mau diambil?"

"Besok aja kalau ngampus."

"Gue udah terlanjur di sini, Ra."

"Eh, yang semalem ya?" tanya Ayah yang muncul dari samping rumah.

"Assalamualaikum, Pak." Sadam mencium punggung tangan Ayah.

"Waalaikumsalam, ajak masuk, Kak," suruh Ayah.

Ayah masuk terlebih dulu, dan aku masih menatap pemuda tanggung di hadapanku ini.

"Apa?" tanya Sadam.

"Apa? Lo berharap gue mempersilakan lo masuk? Gak usah ngarep, masuk tinggal masuk, biasanya juga gitu, kan?" Aku masuk lebih dulu, Sadam mengekoriku dari belakang.

"Duduk sini! Kak, buatin minum buat temennya," suruh Ayah.

Aku kembali dengan dua cangkir kopi hangat. "Katanya mau kuliah, tapi kenapa kakak belum siap-siap?"

"Libur, Yah. Sadam aja yang lupa jadwal."

"Oh, namanya Sadam?"

"Iya, Yah," ujar Sadam.

"Dih, yah yah. Ini Ayah gue bukan Ayah lo," balasku tak terima.

"Iya diralat. Iya, Pak."

"Gak apa-apa, Kak," kata Ayah.

"Padahal dia ke Ibu saya juga manggilnya Ibu tuh, Pak."

"Balik sana, ngapain di sini," suruhku.

"Kopinya belum habis, Ra."

"Biarin aja dulu, kak. Di luar juga hujan."

Aku duduk depan tv, mengganti dari Chanel satu ke Chanel lainnya. Ayah dan Sadam tengah asyik main catur, Ayah banyak sekali tanya pada Sadam. Bertanya mulai dari hal pertemananku dengan Sadam sampai bertanya hal pribadi Sadam. Membahas tentang hobi, olahraga, ikan cupang sampai grup musik.

Ayah dan Sadam tampak akrab, padahal baru kenal. "Kamu suka main futsal?"

"Dulu suka, tapi sekarang lebih suka main bulu tangkis, Pak."

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang