11. Cimol pembawa sial

115 23 1
                                    

~Kopi adalah jembatan penghubung perihal rindu yang terbendung, antara aku dan kamu,  antara cinta, waktu dan jarak yang terlampau jauh~

"Jadi pengen ngopi," ucapku pelan, tulisan di gerobak cimol bang Juki mengingatkan aku pada seseorang di masa lalu.

"Abang, tulisannya udah kece, tapi gak sesuai sama produk yang dijual."

"Walah, lagian yang nempelin itu di gerobak juga bukan saya, Neng."

"Emm, siapa?"

"Dari pemilik kedai kopi di perapatan sana, Neng," jawab Bang Juki.

"Kenapa abang gak bikin tulisan kek gini, terus ditempel di gerobaknya. Siapa tahu bisa rame kayak kedai kopi di perapatan sana," usulku.

"Saya cuma dagang cimol, Neng. Gak perlu lah kayak gitu. Lagi pula kalau laku syukur, enggak juga ya harus laku."

"Maksa ya, Bang."

"Iya dong, masa minta sama Allah sepasrah itu," aku tersenyum. Ada benarnya juga apa yang dibilang bang Juki.

"Tapi ya gak ada salahnya kalau abang bikin kata-kata kayak gitu juga. Misalnya, 'cimol itu bulat, cimol itu liat, namun apakah kau tahu? Bulatnya cimol adalah bentuk cinta yang tak berujung, liatnya cimol adalah perumpamaan kita yang sulit dipisahkan', jijik gak bang?" Bang Juki tertawa terbahak. Ah, memang menjijikan sekali kedengarannya. Apalagi pengucapan ku yang bak penyair abal-abal.

"Abang makin hari aku perhatiin makin mirip Jungkook."

"Jungkook siapa? Abang gak tahu, Neng." Aku memperlihatkan foto Jungkook dengan rambut gondrongnya pada Bang Juki. "Aduh, bikin malu aja. Miripnya dari mana coba?" aku terkekeh sendiri.

"Mirip tahu, rambut gondrong nya."

"Halah, yang rambutnya kayak gini mah banyak, Neng. Besok-besok Abang iket lah, rasanya mau terbang kalau disamain sama yang itu."

"Jangan diikat, nanti makin ganteng," candaku. Kalau kalian bayangkan visualnya bang Juki ya, beliau masih muda, usianya sekitar 28 tahun, kulitnya bersih, pakaiannya rapi, gak mirip Jungkook sih, tapi dia cukup tampan untuk standar pria lokal dan untuk standar tukang cimol tentunya. Bang Juki jualan cimol karena sulitnya mencari pekerjaan saat ini, beliau hanya lulusan SMP. Ijazahnya tidak bisa digunakan untuk melamar pekerjaan ke perusahaan besar.

"Pagi-pagi gombalin bang Juki aja lo," sahut Laras.

"Seblak jadi ya, entar siang selesai ngampus," kataku, mencoba mengingatkan Laras akan tawarannya kemarin.

"Masih inget aja. Lagian gue nawarinnya kemarin, mohon maaf aja udah gak berlaku."

"Kan gue marahnya juga sampai sekarang." Laras pura-pura tak mendengarkan ku, "yaudah, entar kuis kita pura-pura gak kenal aja. Tolong ya jangan panggil-panggil gue."

"Iya okey, sebel gue kalau diancam-ancam gini. Balik ngampus deh. Tapi di foodcourt aja."

Laras memang paling mudah diancam seperti ini, ciri-ciri manusia malas belajar dan gak percaya sama kemampuan sendiri .

"Kirain mau di seblak Teh Bohay."

"Kagak ada. Males gue bawa motornya, jauh!"

"Ini neng cimolnya." Bang Juki memberikan cimol yang aku pesan.

"Makasih, Bang."

"Laras juga mau, bang. Lima ribu aja."

"Bang, kalau kata aku mah ya, Abang bisa pake tulisan kayak kedai kopi itu, bikin inovasi aja cimolnya, misalnya tambahin variasi rasa, atau bentuknya dirubah, jangan bulat doang, monoton. Meski ada inovasi tetep gak bakalan ngilangin citra cimol itu sendiri kok, bang. Masih sama kek cimol yang originalnya, masih tetep Aci digemol, paling nambah variasi rasa sama bentuk aja. Udah gitu Abang jualnya pake mika atau pouch, terus pake logo juga, bang. Atau bisa juga Abang tambahin isian. Isi ayam, sayur atau abon gitu. Abang bisa jual dengan harga yang lebih tinggi. Nanti aku bantu jualin ke temen-temen atau jual di medsos deh," saranku panjang lebar. Mungkin Bang Juki pusing dengarnya.

Anak Kecil Ngomongin Cinta?Where stories live. Discover now