2. Musibah Pertama

3.2K 366 197
                                    

Udara sejuk pagi hari terasa melonggarkan pernapasan. Air-air sisa hujan semalam memadatkan tanah dan meninggalkan bau petrikor yang menyenangkan. Soraya menghirup napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak, mendamaikan hati di halaman rumah yang sebentar lagi akan dia tinggalkan.

Soraya sudah bertekad bahwa dia tetap akan berangkat ke Jakarta, mengambil beasiswa itu dan menjadi sarjana. Seperti yang dulu bapak Soraya katakan, bahwa pendidikan itu penting untuk menggapai impian. Ayah Soraya yang merupakan seorang penyair ingin melihat anaknya menjadi sarjana sastra Indonesia dan Soraya akan mewujudkan mimpi ayahnya.

“Raya.”

Sebuah suara mengalun lembut membuat gadis berkulit kuning langsat itu membuka mata. “Ya, Bulik?”

“Sudah ke makam bapakmu?”

Soraya mengangguk. “Raya udah pamit sama bapak.”

Yanti tersenyum. Kemudian mengambil secarik kertas dari sakunya dan menyerahkan pada Soraya. “Nanti kalo udah sampai terminal, langsung ke alamat itu, ya.”

Soraya membaca tulisan tangan buliknya itu. Calon majikannya tinggal di perumahan elite yang sering Soraya lihat di televisi. Sebuah kompleks rumah indah dan megah yang khusus untuk orang-orang berada.

“Mereka ... orang kaya, ya, Bulik?”

“Iya, Ray.” Yanti tersenyum tipis memandang keponakannya. “Mantan bos Bulik itu yang punya perusahaan industri paling besar. Kamu tau sepatu sama tas-tas mewah harga selangit, itu salah satu hasil industri tekstil mereka.”

Soraya mengerjap. Tampak keterkejutan di bola matanya. Kemudian rasa ragu menyergap gadis bersepatu flat hitam itu. “Apa Raya bakal diterima? Orang kaya biasanya punya perawat profesional kan, Bulik “

“Nggak ada salahnya mencoba, toh?”

Yanti tersenyum simpul melihat Soraya mengangguk. Kemudian pandangannya teralih pada ransel besar berwarna hitam milik Soraya yang sudah tertata rapi di atas bangku bambu. “Kapan berangkatnya?”

“Nanti nunggu mobil pikap dagangan beras, Bulik. Raya udah bilang mau numpang sampe terminal.”

Yanti pun memilih duduk menemani Soraya menunggu truk ringan itu datang. Memberi sedikit petuah-petuah untuk keponakannya sebelum benar-benar pergi.

Sedangkan dari balik pintu rumah, Fitri menahan emosi dan rasa kecewa. Anaknya yang selama ini dia besarkan dengan baik, memilih menentangnya. Putrinya terlalu naif dan gegabah, menganggap kuliah di kota keras itu mudah.

Ketika mobil dengan bak terbuka berisi beras itu sampai, Soraya terlihat mencium tangan Yanti sebelum berlari kecil ke dalam rumah kayu.

Fitri segera kembali ke posisi semulanya, memotong daun bawang yang akan dia gunakan untuk bahan gorengan, sebelum Soraya tiba dan memohon izin.

Fitri adalah Fitri, seorang ibu yang tetap pada pendiriannya. Dia tidak menanggapi uluran tangan Soraya dan masih mengangkat dagu sembari memotong seledri. Dari ekor matanya, tampak Soraya menurunkan tangan dengan air muka sedih.

“Ya sudah kalau ibu nggak mau. Raya pamit berangkat, ya, Bu. Sehat-sehat di rumah. Kalau ada apa-apa bisa bilang sama Bulik Yanti. Maaf, Raya nggak bisa nikah sama Juragan Santoyo kayak yang ibu penginin. Raya punya impian dan selagi Raya mampu, Raya akan mengejarnya. Assalamu’alaikum.”

Setelah itu punggung Soraya menjauh, memasuki mobil pikap, dan meninggalkan Fitri yang dikerubungi amarah.

Soraya tega.

Soraya tidak tahu terima kasih.

Soraya anak durhaka.

Dan Fitri yakin, jalan putrinya itu tidak akan mulus.

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang