18. Tawaran

1.6K 184 177
                                    

Matahari terbit, ayam jantan berkokok. Masih seperti biasa, pagi Fitri ditemani dengan kesepian. Tanpa Soraya, tanpa kebahagiaan. Ibu dengan daster panjang bermotif batik itu membuka pintu lebar-lebar, membiarkan cahaya pagi menerobos celah dinding kayu rumahnya.

Kondisi tubuh Fitri tidak terlalu sehat, semalaman tidak bisa tidur karena demam. Yanti bilang itu efek Fitri merindukan Soraya, tetapi dibantah oleh wanita itu karena dirinya tidak merindukan Soraya sedikit pun.

Untuk apa rindu dengan anak durhaka.

Untuk apa memikirkan anak yang tidak memikirkan ibunya.

Fitri menghembuskan napas kasar. Dia mulai menumpuk kayu kering di bawah tatanan bata yang mempunyai fungsi sama seperti kompor. Wanita itu kemudian mengambil adonan tepung dan beberapa helai sayuran yang akan digunakan untuk membuat gorengan. Dalam keadaan sakit pun, Fitri kukuh berjualan gorengan keliling walaupun sudah di larang oleh Yanti.

Di sela-sela menahan batuk, dia memasukkan tempe yang terbaluri tepung ke dalam wajan. Minyak panas terciprat ke lengannya sudah menjadi hal biasa.

"Mbak."

Fitri mendengar Yanti memanggilnya, tetapi wanita itu masih fokus dengan gorengan.

"Ini obatnya diminum."

Fitri menoleh. Yanti meletakkan sekantung plastik berisi obat-obatan di meja dapur tidak jauh dari posisinya berdiri. "Mbak Fitri lagi gak enak badan, mendingan jangan jualan dulu. Istirahat, Mbak."

"Dapat uang dari mana buat beli obat?"

Yanti mendesah lelah. "Kan kemarin sudah aku bilang, Mas Warno dapat kiriman uang dari Raya buat Mbak Yu."

Fitri mulai mengangkat satu per satu gorengan yang berwarna kuning kecokelatan. Perhatiannya masih sepenuhnya untuk adonan tepung dan tidak menghiraukan Yanti di belakangnya.

"Aku nggak sudi nerima uang dia. Balikin aja, Mbak gak butuh."

Yanti menarik napas panjang. Bicara dengan Fitri yang masih memendam kebencian terhadap Soraya karena kepergian gadis itu sungguh melelahkan. "Mbak Fitri mau sampai kapan gak suka sama Raya? Dia sekarang udah ada di jalan yang bener, Mbak. Raya lagi ngejar cita-cita buat bisa banggain Mbak."

Nampan yang teranyam dari bambu milik Fitri kini sudah terpenuhi dengan bermacam-macam gorengan. Fitri sudah selesai menggoreng dan hendak memikul nampan itu untuk dia bawa keliling kampung.

"Kalau kamu ke sini cuma mau bahas anak kurang ajar itu, mending sana kamu pulang. Masak buat suamimu, Mbak mau pergi."

Punggung Fitri yang sudah terpasang nampan berisi gorengan itu tampak menjauh dari dapur menuju pintu. Yanti segera mengikuti dari belakang, menahan kakak iparnya. "Obatnya diminum dulu, Mbak, sebelum jualan."

Fitri melengos. Dia tidak akan menyentuh barang apapun dari Soraya. "Kamu bawa pulang saja obatnya. Kalau nanti Mbak pulang masih ada di sana, Mbak bakar."

Setelah itu, dengan nampan gorengan dan tas kresek di tangan kirinya, Fitri mulai berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan setapak desa. Berkeliling satu kampung memakan waktu hingga sore, kresek yang dibawa Fitri berisi nasi yang terbungkus daun jati dan sebotol air mineral.

Rumah-rumah sederhana warga satu per satu mulai terlewati, Fitri meneriakkan dagangannya untuk memberitahu orang- orang yang berada di dalam rumah.

"Gorengannya, Mas, Mbak. Tempe, tahu, bakwan, tape ada." Fitri menawarkan kepada gerombolan anak muda yang sedang berada di teras rumah.

"Maaf, Bude."

Fitri tersenyum mengangguk. Kembali berjalan di teriknya siang karena matahari mulai berpindah ke atas kepala. "GORENGAN, GORENGAN. PISANG GORENG, SINGKONG GORENG."

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang