17. Pernyataan Cinta

1.8K 223 136
                                    

Gebrakan tangan yang diarahkan ke salah satu meja kantin terdengar keras. Botol saus, kecap, air mineral, bahkan tutup sambal berbentuk lingkaran bisa terlepas dari tempatnya.

"Sialan! Sialan! Sialan!" Tangan Gie semakin menggila memukul meja kayu itu. Seiring tangannya memerah, air mata gadis itu menitik. "Kenapa Revan tega banget sama gue? Hiks."

Sharen meletakkan cokelat batangnya, tampak berduka dengan kondisi Gie yang sangat terpuruk. "Sabar, ya, Gie. Mungkin Revan bukan jodohmu. Dia sukanya sama cewek lain."

Gadis dengan bando pink di kepalanya itu mengaduh kesakitan saat Okta--dengan mata yang melotot--melempar kulit kacang tepat ke wajahnya.

"Diem!"

Sharen mengerucutkan bibirnya. Isak tangis Gie semakin mengeras dan menjadi backsound kantin yang dipenuhi kerumunan mahasiswa traktiran Gie. Mereka tampak tidak peduli dengan tangisan itu dan melanjutkan makan sebanyak-banyaknya. Di pikiran mereka, makan gratis sepuasnya seperti ini belum tentu akan terjadi lagi.

"Gue cuma mau Revan. Gue cintanya sama dia."

Okta, Sharen, dan Audrey si kribo memandang bos mereka dengan prihatin. Tampaknya Gie sangat teramat mencintai Revan.

"Ya, mau gimana lagi, Gie. Revannya yang bilang sendiri ke seluruh orang. Dia gak suka sama lo lagi." Audrey angkat bicara. Secinta apapun Gie sama laki-laki itu, bosnya harus sadar jika perasaan mereka tidak lagi sama. Jika Gie sedih seperti itu, membuat mereka turut bersedih juga.

"Tapi gue yakin kalau Revan masih cinta sama gue ...," ujarnya lirih.

"Terus apa yang bakal lo lakuin?" Okta menatap Gie yang masih membenamkan wajah di kedua lengan.

Menurut Okta, Gie harus merebut kembali Revan. Seorang pangeran dengan putri kampus akan sangat cocok jika bersama. "Lo denger tadi, 'kan, Gie, si cewek kampung sok-sokan banget. Cantikan juga lo, kayaan lo kemana-mana, tapi gayanya sok dia paling wah sendiri. Lo rela kalo sampe Revan jadian sama dia?"

Gie mengangkat kepalanya. Matanya yang sembab akibat air mata terlihat membulat. "Gak! Gue gak bakal biarin Revan jadian sama cewek kampung itu."

Ada binar keceriaan yang terpancar di mata Sharen dan Audrey karena bos mereka tampak bersemangat lagi. Begitu juga dengan Okta yang mengembangkan senyum lebar.

"Tapi Revan gak mau lo ajak balikan, terus gimana?" tanya Sharen yang tidak berhenti mengunyah permen karet.

Gie memandang ke depan. Walaupun yang dilakukan Revan tadi sangat memalukan, tetapi itu tidak mudah untuk menghapus perasaannya yang sudah bertahun-tahun bersemayam. Baginya Revan adalah rumah. Jika dia tidak diizinkan untuk menetap di sana, maka tidak boleh siapapun untuk tinggal di sana juga.

"Kalau gue gak bisa dapetin Revan lagi, gak akan ada siapapun yang bisa dapetin dia juga. Termasuk cewek kampung itu."

Gie berkata mantap. Dengan begitu dia tidak akan sakit hati karena cemburu. Ketiga temannya yang lain pun menyetujui. Mereka siap untuk membasmi siapa saja yang berani kegenitan atau sengaja mendekati Revan.

Siap-siap dengan permainan mereka. Yang lebih kejam.

Drrttt ... drrttt

Dering telepon dari ponsel mahal seharga uang jajan bulanan Gie terdengar memecah suasana. Pemilik gawai itu menggulir layar ke arah hijau, kemudian mengambilnya dan meletakkan ke dekat telinga.

"Halo, Kak?" Gie menyapa orang di seberang sana yang menelepon dirinya.

"What?! Are you kidding me?" Gie melebarkan mata sembari tangannya menggenggam erat ponsel. "Gila. Kok dia bisa kenal Kak Brama?!"

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang