24. Berhenti Berharap?

1.7K 182 90
                                    

Di keheningan malam, langit-langit kamar menjadi perhatiannya. Sang bulan yang berada di balik atap sana berpendar terang, menyinari seorang gadis yang dilanda kegelisahan.

Apa pergi merupakan pilihan terbaik? Meninggalkan kota Jakarta, memupuskan mimpinya, meninggalkan orang-orang yang tersayang; Oma, Brama, dan Revan.

Jika di dunia ini disediakan pilihan, maka dia akan egois memilih tetap di Jakarta dan tinggal bersama ibunya di sini---paling tidak sampai kuliahnya selesai. Namun, manusia diciptakan untuk menghadapi rintangan dan masalah, jadi mustahil bila hidup lurus-lurus saja.

Soraya menegakkan punggungnya. Menatap sebuah pigura yang terletak di atas nakas sebelah tempat tidur. Fotonya bersama oma saat di taman yang diambil Brama beberapa bulan yang lalu akan menjadi barang terakhir yang dia tinggalkan di kamar ini.

Semua pakaian sudah ia siapkan di dalam tas. Rencananya dia akan pergi besok di saat semua orang tidak bersamanya. Tak perlu menjelaskan semuanya kepada orang lain, karena Soraya tidak sanggup melakukan itu. Mungkin dengan selarik surat cukup bisa mengungkap keadaannya.

***

Perpustakaan kampus hari ini ramai. Banyak mahasiswa semester akhir yang memenuhi kursi dan berdiri di depan jejeran rak buku. Begitu pula dengan Revan yang sedang menyusun skripsinya. Dia mencari bahan-bahan penyusun dengan menghabiskan waktu banyak di perpustakaan.

Hari-hari biasa berjalan dengan baik. Namun, tidak hari ini. Entah kenapa sejak tadi, sebelum Revan datang, Gie sudah menempati kursi yang biasa menjadi tempat Revan. Gadis itu sendirian tampak serius membaca buku hingga akhirnya mendongak ketika Revan sampai di depannya.

Senyum cantiknya otomatis terkembang. "Hai, Revan. Mau nyari buku?" Dia berdiri. "Kamu ngambil tema skripsi bidang konstruksi tentang perancangan tower KD, 'kan? Ini aku udah nyari buku bahan-bahannya yang diperlukan. Mm ... mungkin berguna."

Buku non fiksi dengan warna sampul perpaduan dari biru dan coklat itu di serahkan kepadanya. Revan masih menatap Gie dengan datar. Menahan kekesalan yang luar biasa di hatinya. "Berhenti ngikutin gue, Gie."

Wanita itu membelalakkan mata. Menunduk ketakutan karena dirinya ketahuan akhir-akhir ini sering mengikuti Revan kemana saja.

"Emang lo pikir gue nggak nyadar kalau lo dan geng lo berusaha jadi bayangan gue selama ini?" ujar Revan santai, tetapi penuh penekanan. "Itu bisa gue kasusin karena lo ngusik privasi orang."

Gie mengangkat kepala. Matanya seratus persen membulat. "Revan, kenapa kamu marah banget? Aku nglakuin ini karena peduli sama kamu. Soraya juga nggak nerima ajakan pacaran kamu, 'kan? Jadi, artinya kamu lagi nggak jaga hati siapa-siapa."

Mata Revan semakin menajam ketika mendengar Gie menyinggung Soraya. Dia pasti tahu informasi itu dari geng-nya yang menguping percakapannya dengan Soraya saat di kantin kemarin. Gie sudah kelewat batas, mengetahui semua urusannya.

"Dengar, Gie. Lo nggak tau apa-apa soal hubungan gue dengan Soraya. Kita nggak pacaran bukan berarti lo bebas ngikutin gue. Semua usaha lo ini bakalan sia-sia, karena gue tetap nunggu Soraya," ucap Revan tepat di telinga Gie. Setelah itu dia berjalan mencari tempat lain yang jauh dari keberadaan gadis itu.

"Revan!" teriak Gie, tetapi masih dalam ambang batas. Dia tidak ingin mendapat teguran karena mengganggu ketenangan perpustakaan serta orang-orang yang belajar.

"Sampai kapanpun kamu nggak akan bisa miliki Soraya. Penantian kamu juga bakal berujung sia-sia." Gie menyusul Revan. "Dia nggak akan pernah kembali ke sini."

Revan berbalik. "Apa maksud lo?" tanyanya dingin dan semakin menatap Gie dengan tatapan mematikan.

Gie tersenyum diam-diam. Dia tahu itu karena rencananya dengan Pastika yang berjalan lancar. "Kamu harus percaya sama aku. Mulai sekarang lupain Soraya dan buka hati untukku, Revan."

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang