4. Malaikat Kedua

2.4K 336 119
                                    

Rumah megah berdinding putih tulang tampak berdiri paling menonjol di antara jajaran rumah yang lain. Sebenarnya arsitektur semua bangunan di kompleks Raya Asri hampir sama, tetapi seperti ada sesuatu yang membuat rumah calon majikan Soraya itu terlihat paling memukau.

Soraya melihat penampilannya sejenak. Membenarkan posisi kemeja pastelnya yang juga dia pakai di hari kelulusan SMA. Bisa dikatakan itu adalah satu-satunya baju yang terbaik karena dalam kurun satu tahun, belum tentu Fitri membelikannya pakaian. Kemeja itu dipasangkan dengan celana kulot warna hitam. Walaupun harga di bawah seratus ribu, tetapi cukup nyaman bagi Soraya.

Sembari menenteng tas besarnya, Soraya berjalan menuju pos satpam di samping gerbang. Di sana terdapat dua orang bapak-bapak berseragam putih biru, tampak saling berbicara hingga salah satu darinya berdeham ketika menyadari kedatangan seseorang.

“Ada yang bisa dibantu?”

Soraya sedikit tersentak mendengar suara dingin yang tiba-tiba itu. Dengan sekali tarikan napas untuk menenangkan diri, dia menjawab, “Saya ingin bertemu dengan pemilik rumah ini.”

“Ada perlu apa?”

“Saya mau daftar kerja sebagai perawat.”

Lelaki berkumis hitam lebat dengan rahang tegas itu memperhatikan Soraya dari atas hingga ujung kaki dengan pandangan meneliti. Setelah beberapa menit—sesudah melakukan diskusi dengan partner kerjanya, dia mengangguk. Membukakan gerbang untuk Soraya dan mempersilakan masuk.

Soraya bahagia. Dia seperti melakukan interviu secara tidak langsung melalui penampilannya. Artinya, di tahap pertama ini dia lolos dan semoga saat bertemu dengan tuan rumah nanti dia juga berhasil.

Setelah melewati halaman rumah bak istana itu dan sempat berkhayal menjadi seorang putri, Soraya dengan senyum tertahannya mengetuk pintu rumah dari kayu jati dengan ukiran penuh di ujungnya.

Ketukan pertama masih mengambang di udara tanpa balasan, kemudian ketukan kedua berhasil membuat pintu itu terbuka.

“Mau bertemu siapa?” tanya ramah terlontar dari seorang wanita dengan setelan pakaian biru muda, bawahan rok selutut dan atasan celemek hitam. Rambutnya tercepol rapi dan sarung tangan bersih membungkus tangannya. Untuk ukuran pembantu, menurut Soraya itu luar biasa.

“Saya mau ngelamar jadi perawat.”

Wanita berusia tiga puluh limanan itu tersenyum. Kemudian mengangguk. “Silakan masuk, Mbak.”

“Terima kasih.”

Soraya sudah menduga jika di dalam istana itu akan sangat indah dan memang seperti dugaannya, ruang tamu itu sungguh memesona. Lantai bersih mengkilap yang terpancar cahaya lampu membuatnya bersinar layaknya berlian.

Seperti biasa Soraya berpikir, apakah dia harus melepas sepatunya? Karena lantai itu akan terlalu sayang jika dikotori. Saat Soraya hendak melepas alas kakinya, sebuah suara terdengar menginterupsi.

“Gak perlu dicopot, ayo masuk aja.”

Soraya sontak mendongakkan kepala. Dilihatnya seorang ibu paruh baya dengan make up tipis menghias wajah ayunya. Soraya sedikit terpana, itulah bos Bulik Yanti. Seorang istri pemilik perusahaan industri terbesar se-Indonesia, kini sedang tersenyum manis memandang Soraya yang tertegun dengan sepatu di tangannya.

Segera Soraya masuk dengan canggung dan mendudukkan diri di sofa mahal super halus setelah dipersilakan.

“Namamu siapa?”

“Soraya Mekarwati ...,” Tante? Ibu? Nyonya? Bos?

Soraya menggantung kalimatnya karena belum menemukan sapaan yang pas untuk wanita di seberangnya itu.

After She's GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang