5 - Tukang Obat

35.4K 4.9K 129
                                    

Writer's block is a condition, primarily associated with writing, in which an author loses the ability to produce new work or experiences a creative slowdown. This loss of ability to write and produce new work is not a result of commitment problems or the lack of writing skills - Wikipedia

***

Hah! Padahal itu hanya alibi yang biasa kami─para penulis─gunakan ketika lagi mentok, minim inspirasi, atau hanya sekedar malas menulis saja. Lebih tepatnya malas ngetik, kali ya? Lalu, biar terdengar lebih keren, maka istilah writer's block digunakan. Ya kaya aku sekarang ini.

Sudah dua jam di depan laptop dan hanya dua paragraf pula yang berhasil kuhasilkan. Sial! Apa itu artinya aku cuma berhasil mengetikkan satu paragraf setiap jamnya? Padahal di perjalanan pulang dari kantor tadi, berbagai ide melintas di kepala, sampai-sampai aku ingin segera sampai rumah dan menuangkan ke dalam tulisan. Nihil. Begitu di depan layar segi empat ini, semuanya sudah menguap entah ke mana.

Tapi kabarnya setiap penulis memang akan mengalami fase-fase seperti ini. Entahlah, novel pertamaku berhasil selesai hanya dalam kurun waktu satu bulan. Proses editing sampai distribusi ke toko buku yang memakan waktu. Mungkin karena saat itu semangatku masih menggebu-gebu. Sementara yang kedua dan ketiga, masing-masing kuselesaikan dalam kurun waktu tiga dan enam bulan. Tapi kali ini, sudah hampir setahun Mbak Inggit meneriakiku.

Kuhirup napas dalam-dalam, lantas menggigit bibir. Sepertinya aku harus mulai membaca teori-teori marketing dan melupakan novel keempatku ini. Itu kalau aku mau aman, secara atasanku di kantor super nyebelin.

"Illy ...," suara Mama Rheina mengejutkanku, "Mama udah ketuk pintu beberapa kali, tapi kamu─"

"Nggak pa-pa, Ma." Kuputar badan, tanpa beranjak dari kursi supaya bisa saling berhadapan dengannya. "Kenapa, Ma? Mama cari aku?"

Mama Rheina melangkah ke arah tempat tidur dan duduk di atasnya. "Gimana hari pertamamu?" tanyanya lembut. Aku hanya mengedikkan bahu dan tersenyum tipis. Jujur sebenarnya, aku masih malas kalau harus berbasa-basi dengannya saat ini. Semalam pun aku sengaja nggak keluar kamar karena alasan yang sama.

"Kalau kamu nggak betah atau nggak suka dengan pekerjaannya, Mama akan bantu meyakinkan papamu. Tapi seenggaknya, coba dulu, ya ...."

"Memang itu yang lagi kulakukan kok, Ma. Jangan kuatir," sahutku cepat. Aku hanya pengin cepat balik ke ketikanku. Ok, itu jelas bohong. Saat ini, aku cuma lagi pengin sendiri aja.

Aku menghormati Mama Rheina─ibu tiriku─dia wanita yang baik. Begitu pun dengan Dimas adik tiriku. Dan mereka tau itu, selama mereka nggak mengganggu privasiku.

Seperti sekarang, saat tiba-tiba Mama Rheina mengangkat topik yang paling kuhindari akhir-akhir ini. "Mama baru dengar ceritanya dari papamu. Soal Egha─"

"Ma!" Mataku menatap tajam ke arahnya. Memberi isyarat kalau aku nggak suka membahasnya.

"O-oh, iya. Maaf ... Mama hanya ...." Mama Rheina tampak sedikit salah tingkah. Apa dia takut padaku? Perasaan aku nggak ngapa-ngapain. Apa aku terlalu menakutkan?

Aku tertawa kecil, untuk mencairkan suasana. "Nggak, Ma. Nggak pa-pa. Umh, aku cuma mau ngetik lagi," terangku sambil menunjuk laptop. Sekedar mengalihkan topik. Untungnya, dia menanggapi dengan senyum keibuan khasnya. Aku tahu dia sama sekali nggak berniat buruk.

Setelah itu, beliau beranjak dan berjalan keluar kamarku, tapi langkahnya terhenti di depan pintu. Aku menunggu beberapa saat. Ada apa lagi? Akhirnya pelan-pelan Mama Rheina berbalik dan mengatakan, "Illy, kalau semua terlalu sulit, jangan dipendam sendiri. Kamu bisa berbagi bebanmu dengan Mama."

Cwtch (Completed) ✔Where stories live. Discover now