7 - Legal Issue

30.5K 5K 194
                                    

Sesampai di ruangan, segera kubereskan barang-barang. Masalahku sudah banyak ya, nggak usah nambah-nambahin pikiran dengan punya teamwork yang nggak mau nerima aku. Kalau Papa masih mau aku bekerja di sini, sebaiknya Papa setuju untuk memindahkan aku ke divisi lainnya sesegera mungkin.

Dari sudut mata, kusadari kedatangan tiga orang yang tadi ngomongin aku di belakang. Terserah dia mau nganggep aku kaya gimana. Bukan urusanku. Memang ya ... seharusnya aku itu nggak ada di sini, tapi di depan laptop dan menyelesaikan naskah novelku.

"Illy, ke ruangan gue!" Axel mengatakan hal itu saat berlalu di depanku, sebelum akhirnya masuk ke ruangannya. Mau ngapain lagi coba? Mau ngomelin karena aku nggak sengaja nguping pembicaraan mereka?

Aku tetap melanjutkan berkemas, tanpa menghiraukan perintah Axel tadi. Anggap saja aku sudah resign, Pak. Jadi dia juga nggak perlu sampai repot memikirkan bagaimana harus memperlakukan aku di timnya, 'kan?

Selesai. Sebaiknya aku pamitan ke yang lain, nggak? Kuketukkan jari di atas tali tas. Akhirnya, aku berjalan menghampiri Mbak Lidya. Kuanggap dia bisa jadi perwakilan staf marketing.

"Mbak, aku balik duluan, ya." Kedatanganku ke mejanya, serta ucapanku barusan agaknya mengejutkan Mbak Lidya.

"Illy, jangan—"

"Mbak, tadi Mbak denger omonganku di lantai lima, 'kan? Aku nggak sekurang kerjaan itu harus jadi bahan olok-olokan kalian, jadi—"

"Illy, lo nggak denger yang gue bilang tadi? Ruangan gue, sekarang!" Suara Axel dengan nada 'sok' tegasnya di belakangku menginterupsi pembicaraanku dengan Mbak Lidya.

"Bicarakan dulu dengan Mas Axel," ucap Mbak Lidya sambil menggosok-gosok punggung tanganku. Mungkin dia juga ikut merasa bersalah. Okay-lah demi Mbak Lidya saja, coba kita lihat apa yang mau dibahas sama si Bapak itu.

Memasuki ruangan Axel, kuperhatikan sekilas lelaki itu sedang menatap tajam ke arahku. Setelahnya sengaja kupusatkan pandangan ke titik lain.

Marah? Harusnya kan aku yang marah! Kenapa dia yang memasang wajah seperti itu? Dikira aku bakal takut kali?

"Ngapain tadi di lantai lima?"

"Dari rooftop. Mampir di toilet lantai lima," jawabku singkat, padat, dan jelas dengan nada ketus. Aku nggak perlu akting menghormatinya sebagai atasanku lagi sekarang. Pandanganku lurus menatap mejanya alih-alih melihat wajahnya. Males banget!

"Ngapain di rooftop? Memangnya nggak ada yang bisa dikerjakan—"

"Nggak ada! Emangnya ada pekerjaan yang didistribusikan ke saya? Coba aja tanya Siska—staf Bapak—waktu tadi saya menanyakan apa ada yang bisa saya bantu kerjakan." Kali ini perkataanku bahkan lebih nyaring dari sebelumnya. Sengaja biar Siska di luar bisa ikut mendengar.

"Kalo ngomong itu lihat orangnya!" bentak Axel tiba-tiba sedikit mengejutkanku. Akhirnya kali ini kami saling bertatapan.

"Kalo ngomong itu di depan orangnya! Bukan diam-diam di belakang!" balasku nggak kalah sengit.

Axel berdiri dari duduknya lalu mengitari meja. Aku menelan ludah. Ada sedikit rasa khawatir kalau tiba-tiba dia lepas kontrol dan melakukan hal yang buruk padaku.

Ah mikir apa kamu, Illy? Ini kan di kantor, nggak mungkinlah dia ngapa-ngapain kamu!

"Yang gue kuatirin tu gini, baru diomongin dikit, udah mo kabur?" tanyanya sambil memandang ke tas yang sedari tadi emang kujinjing.

"Saya nggak perlu bertahan di tempat yang jelas-jelas nggak menerima saya. Saya pikir tim Bapak bisa mengajarkan yang namanya teamwork, tapi nampaknya saya harus belajar di divisi lain.

Cwtch (Completed) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang