13 - Family Portrait

28.3K 4.6K 185
                                    

In our family portrait we look pretty happy, we look pretty normal, let's go back to that - Pink

***

"Alasannya?"

Padahal seingatku dulu justru Axel bertanya, kenapa aku harus masuk marketing. Harusnya aku masuk FNA saja, sesuai dengan program studi yang aku pelajari. Terus kenapa sekarang malah keberatan, coba? Ya, memang sih, aku sendiri sudah merasa cocok dengan teman-teman di divisi ini.

"Simpel, sih ...." Sepertinya dia sengaja menggantung kalimatnya, supaya aku menebak-nebak sendiri kelanjutannya.

Aku tersenyum berniat mengisenginya. "Aku tau, karena ternyata aku berbakat di marketing. Makanya Mas Axel keberatan kalau aku mutasi, ya 'kan?"

Axel terkekeh-kekeh mendengar ucapanku barusan, lalu berkata, "Nggak ada yang gue omelin lagi, ntar!"

"Ish!" protesku. Kami tertawa bersama.

"Kata Papa lo apa?"

"Papa bilang nggak usah, katanya aku mendingan di marketing. Atau ... Papa nggak mau aku tau secara mendetail soal ini?"

"Mungkin ada pertimbangan lain, gue nggak tau-"

"Masalahnya Bu Vero ini—" Obrolan kami terjeda sejenak, karena Mbak Lidya masuk ke ruangan dengan beberapa berkas di tangannya. Sempat dia tersenyum kecil padaku. Sebelum akhirnya membahas sesuatu tentang billboard ads atau semacamnya.

Sementara mereka berbicara, aku membuka notifikasi pesan masuk yang tadi kuabaikan. Kukira dari DJ Al lagi, tapi lagi-lagi dari nomor asing. Ini sudah mulai mengganggu. Aku memang selalu mengabaikan pesan-pesan masuk yang kemungkinan besar dari Egha ini, atau ....

Mbak Lidya sempat menyapaku lagi dengan senyuman dan kedikan alisnya sebelum keluar ruangan. Aku sampai nggak ngeh apa lagi yang dibicarakannya dengan Axel tadi.

"Kenapa?" Axel bertanya sambil memperhatikanku. Untuk kesekian kalinya hari ini kami berada di posisi seperti ini. Berpandangan beberapa saat tanpa mengatakan apa pun.

Aku berdeham, memutuskan kontak mata tersebut. Gawat! Bisa gawat, kalau aku sampai merasakan yang aneh-aneh ke dia!

"Ini ada WA masuk dari nomor nggak kukenal lagi," terangku akhirnya untuk mengalihkan perhatian, dan menenangkan batinku sendiri yang mendadak ada degupan-degupan asing yang aneh.

"Egha lagi? Sini coba liat," pintanya sambil mengulurkan tangan dan aku pun menyerahkan ponsel yang layarnya menampilkan pesan chat yang isinya, Aku masih nggak terima ya diviralin. Yang seperti biasa auto kublokir itu.

"Ini udah mulai ganggu deh, apa nggak perlu dilaporin aja?" tanyanya kemudian.

Axel memang beberapa kali mendengar ceritaku soal nomor-nomor yang bergonta-ganti mengirim pesan yang kebanyakan isinya soal cerita yang sempat viral beberapa waktu lalu. Padahal sudah lama acaranya selesai. Aku sih masih santai saja menanggapi teror pesan itu.

Egha sendiri selain muncul dan membuat keributan di kantor kapan hari itu─untung ada Axel dan pak security yang bantuin ngusir─terus ketemu lagi di kampus, saat aku ada janji bertemu dengan profesor Andik. Waktu itu dia nggak banyak bicara dan nggak membuat keributan. Cuma bertanya kabar dan meminta maaf. Makanya kukira semuanya sudah selesai.

Aku menggeleng. "Biarinlah, Mas. Aku malah curiga itu bukan Egha."

"Terus?" tanyanya lagi sambil menyodorkan ponselku.

"Arlin, mungkin. Entahlah, perasaanku mengatakan itu bukan Egha."

"Emang sama Arlin ngomongnya aku-kamu?"

Cwtch (Completed) ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt