2 - Dilemma

52.1K 5.3K 239
                                    

Above all things, reverence yourself - Phytagoras

***

Sinar matahari pagi yang menyelinap di sela-sela tirai berhasil membangunkanku. Kulirik sekilas jam dinding, mendekati pukul sepuluh. Sebenarnya masih malas bangun dari tempat tidur, tapi bengong menatap langit-langit kamar hanya akan memperkeruh suasana hati aja.

Aku duduk sejenak di pinggiran tempat tidur, sebelum benar-benar beranjak. Kepala terasa berdenyut, kala kilatan kejadian semalam lagi-lagi menghampiri ingatan. Aku menoleh ke pigura di atas nakas, yang dini hari tadi, sengaja kutelungkupkan.

Dengan lemah, kugapai pigura kecil itu dan memandangi foto di dalamnya. Ada aku versi yang lebih muda, sedang merangkul Arlin. Saat itu kami sedang merayakan kelulusan S1. Rona bahagia terpancar jelas di wajah kami berdua. Aku pikir, kami akan seperti itu selamanya.

"Bullshit!" Kulempar pigura itu ke sudut kamar. Sesak kembali menyerang, lagi-lagi aku menangis tanpa suara. Benci sekali dengan keadaan ini. Bahkan sekarang teman untuk berkeluh kesah pun nggak ada. Pengin banget teriak, tapi alih-alih melakukannya aku cuma bisa menggigit bibir dan mengepalkan tangan erat-erat. Lalu, memukul dada berulang kali, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.

Pening yang sebenarnya kurasakan sejak beberapa jam lalu, tapi sengaja kuabaikan, semakin parah. Sepertinya, mau nggak mau aku harus meminum obat pereda nyeri. Setelah merasa lebih tenang, barulah aku beranjak ke kamar mandi sekedar mencuci muka.

Jam-jam segini, harusnya rumah sepi. Aku langsung menuju ruang makan, menuang air untuk minum obat, sekalian mengisi ulang botol minum untuk di kamar. Sementara, tanganku yang bebas nggak berhenti mengurut kening. Ini pasti akibat kebanyakan menangis.

"Jam berapa kamu pulang?" Suara Papa menghentikan gerakanku yang sedang mengisi ulang botol minum. "Illy?"

"Jam empat." Acuh tak acuh, akhirnya kujawab pertanyaan Papa, sambil meneruskan aktivitas pengisian botol minum yang sempat tertunda.

"Anak perempuan macam apa yang pulang subuh-subuh gitu?" Suara Papa sedikit meninggi, tapi pagi ini aku nggak ada energi untuk melayani kemarahan Papa. Apalagi obat yang baru saja kuminum belum menunjukkan reaksi apa pun.

Tanpa menjawab pertanyaan Papa, aku berniat langsung kembali ke kamar. Nanti, besok, atau lusa, Papa boleh melanjutkan omelannya. Dan aku akan dengan senang hati menanggapi, tapi nggak sekarang.

"Tunggu, Illy!" seru Papa, menghentikan langkahku. "Kamu nggak denger Papa nanya apa barusan?" sambungnya.

Aku masih bergeming, nggak langsung menjawab. Kalau saja Papa tahu soal kandasnya hubunganku dengan Egha, pasti Papa bahagia banget. Jelas lebih baik Papa nggak tau.

Aku menghela napas berat, sebelum berputar menghadap Papa. "Aku minta maaf, nggak akan kuulangi lagi, Pa," jawabku tanpa betul-betul memandang Papa. Aku hanya ingin cepat balik ke kamar.

Maaf, Pa. Harusnya aku mendengar nasihat Papa soal Egha.

"Duduk," perintah Papa, yang walaupun diucapkan dengan intonasi pelan, tapi tetap ada ketegasan dalam suaranya.

Kuhela napas sejenak, sebelum akhirnya mendekati kursi di ruang makan. Tanpa banyak sanggahan, kuikuti kemauan Papa.

Beberapa saat kemudian, setelah kami sudah sama-sama duduk, barulah Papa melanjutkan perkataannya. Sepertinya, mau nggak mau aku harus menerima omelan itu.

"Papa tau, kamu akan menolak, tapi Papa ingin kamu dengerin Papa dulu sebelum menyela ...."

Aku memang nggak berniat menyela sedikit pun.

Cwtch (Completed) ✔Where stories live. Discover now