11 - Mood Swing

29.4K 4.4K 200
                                    

Mood-swing is the only swing that the girls swing the most - AnShii

***

"Great! Udah separo jalan, Illy!" seru Mbak Inggit dengan wajah semringahnya. "Ada yang perlu kubantu?"

"Selain bantu kurasi?" Aku menggeleng, lalu menyesap Caramel Javachip milikku. Senang memperhatikan wajah puas Mbak Inggit yang sedang membaca progress naskah novelku. "Mbak Inggit udah bantu banyak, dengan menjembatani aku sama kantor—"

"Dah-dah-dah, nggak usah sok puitis, ngerayu-ngerayu, kamu! Ini terakhir kali,  aku bantuin kamu soal deadline, ya! Awas aja kalau mundur lagi, tak hiiih, kamu!" ucapnya sambil tangannya memperagakan gerakan mencekik. Sementara aku hanya menutup mulut, menahan tawa.

Padahal kami bisa saja berkirim berkas lewat surel. Tapi sesekali bertemu seperti ini bagus juga untuk melepas rindu pada editor kesayanganku ini.

Dua bulan ini, dia menepati janjinya untuk nggak mengganggu dan menasehatiku ini-itu. Walaupun aku tahu, pasti gatel banget, tapi dia menahan diri untuk nggak melakukannya.

"Gimana kerjaan di kantor?" tanyanya lagi tanpa melihat ke arahku, masih tenggelam dalam naskah di tangannya.

"Aku nggak pernah menyangka kalau aku akan mencintai pekerjaan ini. Maksudku, dulu aku nggak pernah menyangka kalau aku bisa jadi bagian dari tim marketing."

"Berarti papamu lebih tau potensimu. Atasan kamu gimana,  masih galak?"

"Duh! Kanebo kering itu mah ya tetep aja gitu, ya walau nggak separah dulu, sih. Pernah nih, aku lupa menghubungi salah satu vendor, yang padahal bukan sesuatu yang urgent juga, diamuk dong aku," ceritaku menggebu-gebu soal Axel.

"Kanebo kering? Tunggu, jangan-jangan visual tokoh di novelmu yang sekarang ini ... atasanmu sendiri, ya?" pekik Mbak Inggit heboh sendiri, sementara aku hanya mengedikkan bahu menjawabnya. Which is, artinya iya.

"Wah, penasaran seganteng apa sih dia, sampe kamu jadiin inspirasi. Ada fotonya nggak?" And here we are, dia pun semakin kepo, dong!

"Dah ah aku mau balik," ucapku sambil membereskan dompet dan ponsel ke dalam tas.

"Ish, pelit! Fotonya dulu, Illy!" paksanya, masih ingin tau foto Axel.

"Nggak pernah foto bareng, Mbak Inggit! Nggak tau sosmed dia juga!" selaku sebelum Mbak Inggit membuka mulut untuk menanyakan akun media sosialnya. Aku sudah paham banget pasti dia akan menanyakan hal itu.

"Profil WA?" Tapi dia masih ngotot dong. "Trus, kalau penyiar radio ini? Eh, kamu perlu riset ke radio, nggak? Aku ada temen di—"

"Ntar deh, Mbak, kalau aku butuh—"

"Profil WA manajermu ...." Potong Mbak Inggit lagi. Sepertinya tahu akal-akalanku supaya dia lupa soal Axel. Kuputar bola mata sambil menggeleng dan akhirnya mengambil ponsel dari tas untuk membuka profil Axel, lalu menyerahkan pada my kepo editor ini.

"Dia gondrong gini? Ngantor juga dikuncir gini?" Aku pura-pura mikir, dan nggak langsung menjawab. Emang akhir-akhir ini Axel sering mengikat rambutnya. Pernah sekali aku iseng bertanya pada anak-anak marketing yang lain, soal aturan grooming di kantor kami. Ternyata, memang kantor kami penganut paham serius tapi santai.

"Chat kamu ama dia nggak ada romantis-romantisnya gini. Kerjaan doang yang dibahas!"

Seketika kurebut kembali ponsel dari tangan Mbak Inggit, sambil bersungut-sungut kukatakan, "Ya karena emang hubungan kami bukan hubungan romantis! Atasan-bawahan, Mbak Inggit! Catet!" Kumasukkan kembali ponsel ke tas.

Cwtch (Completed) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang