13B • Merenda Mimpi

2.7K 586 81
                                    

🍬🍬 ------------------------------
believe that God created you for me to love. He picked you out from all the rest cause He knew I'd love you the best
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

HAWWAIZ akhirnya mendapatkan tanda tangan dari dosen pembimbing untuk melakukan clerkship di sebuah rumah sakit besar yang ada di London. Hawwaiz bernapas dengan lega, setidaknya dia bisa mengawasi Vira dari jarak terdekat meski tanpa harus berkomunikasi dengannya.

"Aku kangen sama kamu, El. Apa kamu juga merasakan hal yang sama sepertiku?" gumam Hawwaiz.

Setelah mendapatkan tiket kereta yang akan membawanya ke London untuk mengurus segala sesuatunya di sana selama clerkship nanti, seperti biasa Hawwaiz menikmati guliran galeri foto yang ada di dalam gawainya. Foto yang banyak menyimpan kenangannya bersama Vira membuat semangatnya semakin menyala.

"Sebentar lagi, Sayang. Aku akan benar-benar datang untuk memintamu menjadi milikku seutuhnya." Hawwaiz bangkit dari duduknya. Dia segera bersiap ke stasiun karena kereta api yang akan membawanya akan berangkat empat puluh menit lagi.

Hawwaiz mendesah perlahan. Hubungannya dengan Arfan menjadi canggung setelah kejadian waktu itu. Meski dia telah meminta maaf secara langsung ketika Arfan berada di London, tapi tetap saja kata maaf yang telah diberikan Arfan tidak akan pernah cukup untuk menebus kesalahannya pada mereka.

Malam harinya, setelah Hawwaiz menyelesaikan kegiatannya di Ormond Hospital hari itu, Hawwaiz berniat mengisi perutnya yang sedari tadi sore sudah keroncongan. Dia memilih restoran Asia, karena akhir-akhir ini Hawwaiz sedikit mengalami masalah dengan pencernaannya. Selain juga karena alasan rasa rindunya pada masakan Qiyya.

Kedua matanya membulat seketika saat dia hendak meletakkan pantatnya di kursi kosong yang ada di restoran itu. Hawwaiz melihat Vira dan Arfan sedang asyik bercengkerama tidak jauh dari tempat duduknya, hanya berjarak dua meja dari kursi pilihannya. Telinganya juga cukup bisa mendengar cerita apa yang sedang mereka bahas.

Semula Hawwaiz berniat menyapa, dia kembali berdiri dan melangkahkan kaki mendekat. Namun, semuanya urung dilakukan ketika seorang pria tampan lebih dulu berdiri di samping meja mereka dan menyapa Arfan dengan sopan. Sambutan hangat pun terlihat begitu nyata di mata Hawwaiz. Pemuda itu mencium tangan kanan Arfan lalu tersenyum mengangguk kepada Vira.

Lelah telah mendominasi dan rasa tidak suka mengganjal di hati. Tentu saja Hawwaiz menyadari cemburu telah menguasai dirinya. Namun, seolah semesta yang tidak lagi memberinya kesempatan untuk menampakkan diri. Hawwaiz mencoba untuk menahan diri, berkilah tidak ingin membuat Vira malu di depan banyak orang dengan kehadirannya yang mungkin sangat tidak diharapkan oleh Arfan.

Sampai akhirnya mereka benar-benar berpisah. Dan Hawwaiz mencoba peruntungannya untuk maju berjuang mempertahankan apa yang ingin dia miliki di dunia ini.

"Selamat malam, Om Arfan," sapa Hawwaiz.

"Bi—" sapa Vira terkejut.

"El, how are you?" Hawwaiz mencoba tersenyum.

"What are you doing here?" tanya Vira.

Arfan berdeham mengusik percakapan keduanya. Mata Arfan menatap tajam ke arah Hawwaiz. Hal berbeda ketika dia bertemu dengan Heffry di dalam restoran tadi.

"Bukannya kamu sudah berjanji untuk tidak mengganggu Vira lagi, Iz?" kata Arfan tak bersahabat.

"Maaf, Om?" kata Hawwaiz tanpa mengurangi rasa hormatnya pada Arfan.

"Daddymu yang datang kepada kami, Mas Ibnu bilang kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu Vira di London lagi. Jangan lupakan juga janjimu di pertemuan kita tempo itu!" tegas Arfan.

"Pi—" Vira merasa Arfan sedikit berlebihan dengan pertemuan tak sengaja mereka dengan Hawwaiz.

"Demi Allah, Bilal tidak pernah mengganggu Adik, dan Adik tidak merasa terganggu. Pipi nggak perlu memandang Bilal seperti itu. Dia bukan penjahat yang—" kata Vira terpotong dengan sikap Arfan yang langsung menggelandangnya ke mobil.

"Pipi nggak suka Adik ngomong seperti itu?" tanya Vira.

Seolah menjadi alarm awal yang harus dipersiapkan Vira untuk tetap berdiri di tempatnya.

"Come on, Pi. Bilal salah apa? Dia hanya datang menyapa kita. Apakah seperti ini sikap yang harus Pipi tunjukkan padanya?" tanya Vira.

"Lalu bagaimana menurutmu? Apa Pipi harus bersikap baik dengan orang yang telah melukai martabatmu sebagai seorang wanita? Jelaskan pada Pipi bagaimana caranya." Arfan tidak mau kalah berdebat dengan putrinya.

Vira mendesah kasar. Bukankah Arfan telah memberikan maafnya untuk Hawwaiz. Tapi mengapa kilatan dendam justru terlihat dari pancaran matanya?

"Tidak baik menyimpan dendam kepada orang," desis Vira.

"Karena kamu menyukainya. Sekarang Pipi tanya, kalau Heffry melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Hawwaiz padamu, sementara kamu tidak mencintainya. Apakah kamu masih bisa berkata demikian?" tanya Arfan.

"Ini kasus yang berbeda, Pi. Tolong jangan membuat topik percakapan kita semakin melebar." Vira memilih untuk masuk ke mobil terlebih dulu.

Meninggalkan Hawwaiz sendiri tanpa kata perpisahan. Sebenarnya dalam hatinya masih bertanya-tanya, acara apa yang membawa Hawwaiz datang ke London. Dalam perjalanan menuju ke flat tangan Vira menjadi gatal untuk menghubungi Hawwaiz, tapi otaknya masih cukup waras untuk menahan karena dia pun telah berjanji pada kedua orang tua Hawwaiz.

"Dosa besar jika kamu diam-diam menemuinya tanpa izin dari Pipi."

Kalimat mutlak yang terdengar setelahnya dari bibir Arfan membuat hati Vira semakin resah. Apakah angin benar-benar telah berputar arah?☼

-------------------------------🍬🍬

-- to be continued

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
Jazakhumullah khair

Blitar, 15 Maret 2024
*sorry for typo

AORTAWhere stories live. Discover now