11 • Contemplation

3.4K 637 248
                                    

🍬🍬 ------------------------------
Love enters a man through his eyes, woman through her ears
------------------------------ 🍬🍬

-- happy reading --
مرنتىن نىاكار

HELAAN napas lega kembali dikeluarkan manakala dokter mengatakan bahwa Hawwaiz telah melewati masa kritisnya dan kembali tersadar. Beberapa hal yang dipesankan kepada Vira adalah tidak diperkenankannya membicarakan hal-hal yang terlalu berat untuk bisa diterima Hawwaiz saat ini. Tubuhnya membutuhkan istirahat total. Khawatir terjadi overload fisik ataupun mental yang akan mempengaruhi jiwa, sang dokter menyarankan untuk memberikan stimulus positif yang bisa membuatnya tenang.

"Mr. Hawwaiz's physical condition is very bad. Please don't burden his mind with even worse things, or else more scared things will be happen."

"I do understand, Doctor. Thanks for the information, noted for it," jawab Vira.

Hawwaiz masih berbaring dengan mata tertutup ketika Vira kembali ke ruang perawatannya. Kali ini tidak lagi pingsan, tapi efek dari obat yang disuntikkan membuatnya tertidur. Vira memilih membersihkan dirinya terlebih dahulu. Peristiwa semalam telah menguras segalanya. Pembelajaran berharga ini bukan hanya untuk Hawwaiz, tapi juga untuk Vira.

Hanya ingin melihat sejauh apa keseriusan Hawwaiz kepadanya, membuktikan bahwa apa yang dituduhkan kedua orang tua kepada kekasih hatinya tidaklah benar. Nyatanya menantang kesombongan manusia itu laksana melukai diri sendiri. Itu sebabnya mengapa setiap hamba dilarang untuk bersikap sombong, don't ever feel arrogant in front of Allah because in fact pride is only his.

Pada saat lamunan itu sedang berkelana dan beputar dalam otak Vira yang kini hanya mampu duduk termenung di sofa sambil sesekali memperhatikan Hawwaiz karena mengubah posisi tidurnya, ketukan pintu yang meraba indra perungunya membuatnya bangkit dan melihat siapa yang datang.

"Maaf, kamar rawatnya Hawwaiz?"

Vira masih bergeming di tempatnya. Ketika mendapati seorang pria asing berdiri dibalik pintu yang dia buka.

"Iya, maaf Anda siapa?" Vira menggeragap.

"Perkenalkan saya Revan Adhyatama, teman seflat Hawwaiz. Tadi dia sempat mengabari saya kalau sedang di rawat di sini. Anda tentu Vira, kan?"

Vira mengangguk membenarkannya. Hawwaiz sering bercerita tentang Revan padanya.

"Boleh saya masuk, Vir?" tanya Revan.

"Oh tentu, silakan, tapi Hawwaiz masih tidur." Vira tersenyum mengangguk.

"Ini bagaimana ceritanya Hawwaiz bisa sampai hipotermia, apa waktu terjadi badai semalam dia sedang berada di luar?"

Revan merasa ganjil dengan keadaan yang menimpa Hawwaiz. Sahabatnya itu selalu prepare, selalu mengingatkan teman-temannya. Dia yang selalu memperhatikan lingkungan sekitar terlebih untuk kesehatan mengapa bisa sampai kecolongan seperti sekarang ini.

Vira tidak mungkin menjawab jujur walau apa pun alasannya. Dia hanya bisa menjelaskan bahwa Hawwaiz kecapekan dan kebetulan udara di luar mulai dingin dan saat mandi Hawwaiz tak sadarkan diri.

"Hawwaiz memang sangat sibuk beberapa bulan belakang, terlebih dua bulan belakangan ini." Revan mengingat semua kegiatan Hawwaiz belakangan ini.

"Saya saja hampir tidak pernah menemui di flat. Entah hal mendesak apa yang membuatnya menjelma menjadi orang gila yang tak kenal waktu bahkan untuk merawat dirinya sendiri saja tidak terpikirkan," lanjutnya.

"Dia tidak pernah cerita mengapa berubah sedemikian drastis?" tanya Vira.

"Dari awal mengenal Hawwaiz memang sudah terlihat kalau dia pekerja keras dan disiplin. Bahkan karena sikapnya, kami yang berada dalam lingkar pertemanan ikut terbawa arus," jawab Revan.

AORTAWhere stories live. Discover now