Bab 5 - Pelukan Allan

160 25 5
                                    

Written by: qusyair


"Ziana! Kamu di mana? Cepat turun, waktunya makan malam."

"Ya, Nek!"

Ziana melihat sekitarnya sekali lagi, memastikan. Hm, dia benar-benar masih di kamarnya. Ia meraba jantungnya yang sesekali berdegup kencang ketika mengingat kembali wajah tiga orang berbeda—tetapi terasa sama—yang telah ia temui.

Pertama, lelaki yang mencekik lehernya.

Kedua, dosen bernama Ravindra itu.

Terakhir adalah orang Belanda bernama Dante, yang gilanya, akan menikah dengan dirinya.

Banyak pikiran yang berkecamuk di otak Ziana. Mulai dari mengapa dia bisa ada di masa lalu? Bagaimana dia bisa berinteraksi dengan mereka seolah-olah dirinya adalah bagian dari seseorang yang dipanggil ... siapa namanya tadi?

Elena! Ah, itu dia namanya dan yang lebih aneh lagi ... kenapa tiga orang yang Ziana temui di tempat dengan suasana berbeda itu bisa begitu mirip?

"Aku juga tidak tau kenapa setiap bertemu 'mereka' hati dan tubuhku selalu bereaksi. Perasaan-perasaan seperti takut, marah, kecewa, yang aku sendiri tidak paham. Seolah-olah semuanya memang aku sendiri yang mengalami."

"Ziana! Jika kau tidak turun, makanan ini akan kubuang! Astagaaa, alangkah susahnya menyuruhnya makan saja."

Ziana segera turun tanpa menyahut lagi. Khawatir neneknya akan tau jika ia habis pingsan tadi pagi, dan malah terdampar sejenak di tahun 40-an.

Ziana akan menyelidiki ini nanti.

***

Ziana berguling ke kanan. Hm, tidurnya malam ini sangat nikmat. Ziana semakin mengeratkan pelukannya pada guling empuk berwarna putih satin. Suara deburan ombak begitu kentara menggaung di telinga.

"Hm, padahal semalam rasanya aku menyalakan musik sebelum tidur. Apa aku memang punya musik dengan suara ombak yang begitu kentara seperti ini?" Ziana makin menyamankan diri dengan gulingnya. Mencoba tidur kembali.

Tunggu! Apa ini ombak?!

Ziana terjaga seketika. Duduk dan mengawasi sekitar. Air matanya rasanya akan jatuh lagi melihat ornamen di sekelilingnya. Dinding dan lantai besi, meja tua dari jati, buku-buku tebal dan bertuliskan sesuatu yang asing, jendela kecil di atas kepalanya yang langsung menuju lautan, dan ...

Bajunya!

"Argh, kenapa aku bisa di sini lagi?" Ziana meraba-raba wajahnya. Tidak kurang apapun.

Ziana melihat sebuah cermin besar di sana. Dia mendekat, berdiri di depan cermin besar itu.

Seorang gadis cantik dengan rambut yang disanggul berdiri menatapnya. Sebagian kecil rambutnya jatuh memberikan kesan manis. Sedikit berantakan karena habis bangun tidur. Tubuhnya yang proporsional dibalut baju berlengan lebar dengan bawahan yang sama panjangnya, hingga menutupi kaki. Serupa daster jika di zaman Ziana, tetapi ini kuno sekali dengan warna kuning mencolok. Mungkin ini model baju tidur di sini.

Ziana meraba rambutnya yang di sanggul. Penasaran, Ziana menarik sesuatu yang menyangga rambutnya hingga terlepas.

Dan ... terpampanglah rambut panjang, lurus dan nampak begitu halus itu.

"Wow!" seru Ziana takjub. "I—ini rambut? Panjang sekali!"

Rambut yang sepenuhnya hitam pekat itu panjangnya hampir menyentuh paha Ziana. Terurai indah dan sangat lembut saat di sentuh. Bukan main. Bahkan rambutnya sendiri tidak pernah bisa selembut ini meski memakai conditioner ternama.

"Ya ampun! Apa yang kau lakukan Elena, darling? Kau merusak riasan rambutmu."

Seseorang yang kemarin menyebut dirinya "Mama" itu menghampiri Ziana. Mengambil kursi, mendudukkannya, lalu menata kembali rambut Ziana.

"Kamu ini kenapa, ndok? Dari kemarin kamu bertingkah aneh. Mulai dari pura-pura tidak mengenali Mama dan Papa, terkejut dengan pertunanganmu, tiba-tiba menghilang, dan sekarang kamu menggerai rambut."

Sanggulan di kepala Ziana nampak cantik. Modelnya tidak sama dengan mamanya ini. Sedikit lebih menarik dan cocok untuk dirinya yang masih muda.

"Cerita sama Mama, Elena. Kamu kenapa? Mama rasa kamu berbeda? Apa ada yang menganggu pikiranmu? Apa kamu jatuh di suatu tempat?"

Ziana terdiam. Menatap saksama seorang Ibu di depannya. Ziana hendak mengatakan yang sebenarnya kalau dia bukan sosok Elena yang dimaksud. Kalau Ziana hanya anak kuliahan biasa yang hidup di zaman modern dan tiba-tiba terdampar di dunia antah berantah ini.

Ziana bahkan ingin bertanya ini di mana dan bagaimana caranya Ziana keluar dari sini dan tidak kembali lagi?

Namun yang Ziana ucapkan adalah sesuatu yang mengejutkannya.

"Aku tidak apa-apa, Ma. Aku hanya sedikit pusing karena kurang tidur. Mungkin itu penyebabnya."

Mama tersenyum. Mengelus rambut Ziana lembut. "Kalau begitu, kita makan dulu di kantin kapal. Para kelasi sudah menyiapkan makanan yang lezat. Setelah itu kamu istirahat."

Ziana tanpa sadar mengangguk. Tersenyum manis. Mama keluar ruangan. Pergi meninggalkannya sendiri.

Sepeninggal mamanya—di dunia ini—Ziana menutup mulutnya rapat dengan tangan. Ziana sungguh bingung kenapa mulutnya seperti bergerak sendiri dan mengucapkan semua kalimat itu. Ziana mendesah. Ini benar-benar membuat kepalanya sakit.

Mungkin lebih baik dia makan saja setelah membersihkan diri.

***

Ziana sudah diminta mamanya untuk segera ke kantin kapal. Mereka berangkat lebih dulu dengan sang Papa untuk bertemu seorang tamu di sana. Ziana mengiyakan saja meski dirinya masih berusaha membiasakan diri berpura-pura menjadi Elena dan memanggil kedua orang itu 'Mama dan Papa'.

Lidahnya masih terasa gatal.

Angin laut bertiup pelan saat Ziana berjalan di lorong kapal. Sepi. Semua orang pasti tengah menikmati sarapan mereka pagi ini di kantin kapal. Ziana mendekat ke tiang pembatas kapal. Menatap ke bawah dan melihat ombak.

Ziana seketika terduduk. Ketakutan akan ombak dan kenangan buruknya tentang orang tuanya yang tenggelam karena derasnya ombak, kembali menghentak Ziana. Mengantarkan sejuta kengerian yang lagi-lagi dirasakannya.

Ziana menggigil. Otaknya tak mau berhenti menampilkan potongan-potongan kejadian mengerikan itu. Ia menggigit bibirnya. Tangannya mencengkeram gaun yang dipakainya.

"Nona, kau baik-baik saja?" Suara tak asing itu membuat Ziana mendongak sejenak. Ziana menggelengkan kepalanya. Ketakutan semakin memeluk Ziana. Seolah telinganya dapat merasakan kembali derai hujan kala itu. Seolah ombak di buritan kapal tengah mengejek Ziana yang lemah.

"Bukan aku yang menginginkan mereka mati. Bukan aku, tapi ombak." Ziana terisak. Air matanya menggalir satu-satu.

Pemuda yang tadi menyapa Ziana panik. Dia Allan, asisten nahkoda. Kaget melihat reaksi gadis yang diketahuinya bernama Elena itu menangis. Allan mencoba menyentuh pundak Elena, menyentuhnya pelan.

"Ada apa, Nona Elena? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada yang bisa kubantu?"

Ziana makin jadi tangisnya. Sentuhan Allan di pundaknya menambah sensasi ingin menangis Ziana makin nyaring. Sentuhan Allan seperti menyalurkan rasa bahwa Ziana bisa berbagi apa saja pada lelaki itu. Seperti Ziana dapat menumpahkan semuanya pada Allan.

Ziana merasa dirinya dan Allan begitu dekat sehingga dengan gerak tubuhnya sendiri Ziana memeluk Allan dan semakin keras menangis.

Allan yang mendapat serangan tiba-tiba itu kontan menepuk punggung Ziana. Membalas pelukan Ziana. Mereka terlibat aksi tangis-menangis dan peluk-memeluk beberapa lama sampai sebuah suara menginterupsi dengan keras.

"Elena! Apa yang kalian lakukan?!"

***

BK7 - Kumparan WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang