Bab 19 - Sandera

55 7 1
                                    

Written by : Anuna13



Mobil Fortuner putih melesat dengan kecepatan 100 km/jam membelah jalanan kota di malam hari. Ravindra berada di balik kemudi dan kursi sebelahnya terisi seorang wanita—mahasiswinya, Tasya.

15 menit yang lalu, tiba-tiba Mala mengirimkan sebuah lokasi melalui chat room WhatsApp nya dengan Tasya. Tanpa pikir panjang, Tasya meminta bantuan dosen mudanya itu untuk mengantarkannya ke alamat tujuan.

Sedangkan pikiran Ravindra masih menerka, apa rencana yang akan dilakukan Adiratna untuk membalas dendam?

Di sisi lain, Ziana dan Klaus juga tengah berada dalam sebuah mobil BMW hitam milik Klaus. Tasya menyempatkan menghubungi Ziana tentang Mala yang meminta tolong disertai dengan isakan. Hal tersebut membuat Ziana ikutan panik dan menyusul Tasya bersama dengan Klaus.

Setelah mendengar cerita dari Klaus, Ziana yakin jika saat ini Adiratna—dalam wujud Adelina—tengah melaksanakan rencana balas dendamnya. Ia tidak khawatir tentang keselamatan dirinya sendiri, melainkan keselamatan Mala yang saat ini kemungkinan besar telah menjadi sandera Adiratna.

***

Jam tangan pada pergelangan tangan Adelina menunjukkan pukul 20.25 WIB.

"Sebentar lagi, Mala. Tenang saja. Sahabatmu itu pasti datang menolongmu," ucapnya sinis sembari menatap seorang wanita yang telah terikat sepenuhnya pada kursi.

Ia berjalan menuju meja yang tak jauh dari sana. Mengisi masing-masing tiga buah peluru pada dua pistol yang dimilikinya.

"Menurutmu apa yang akan dipilih oleh Ziana sialan itu jika dihadapkan oleh dua pilihan? Antara nyawamu atau nyawanya? Hahahaha," tanya Adel pada Mala yang baru saja sadarkan diri setelah ia buat pingsan.

"Sepertinya dia akan mengorbankan nyawamu, Mala. Orang egois seperti Ziana tidak akan mengorbankan nyawanya sendiri hanya demi sahabat. Ya, kita lihat saja nanti," sambungnya untuk menakut-nakuti Mala yang semakin terisak.

Rencana A. Rencana klasik yang digunakan untuk membalas dendam. Menggunakan Mala sebagai sandera, hingga Ziana dihadapkan pada dua pilihan. Melihat sahabatnya ditembak mati oleh Adelina alias Adiratna. Atau memilih bunuh diri, menggunakan pistol yang sama dengan yang digunakan Adiratna bunuh diri 80 tahun silam.

Rencana B?

Ah, lihat saja nanti. Tidak asik jika kalian juga mengetahui rencananya, bukan?

***

Di waktu yang sama, dua buah mobil terparkir di halaman luas sebuah bangunan terbengkalai.

Ziana keluar dari mobil dan menghampiri Tasya yang berada di sebelah mobil milik Ravindra, "Dimana Mala, Sya?"

"Kemungkinan besar dia ada di dalam bangunan ini. Aku juga nggak tahu, Zi. Lokasi yang dikirim Mala menuju ke sini." Tasya menatap sebuah bangunan terbengkalai di depannya.

"Ayo!" ajak Ravindra sembari mendahului masuk bangunan terbengkalai di depannya. Ia mengambil pistol dari balik punggungnya.

"Untuk apa pistol itu?" bisik Ziana menyusul langkah kaki Ravindra.

"Membunuhnya. Kali ini saya yang akan membunuhnya dengan tangan saya sendiri." Ziana tentu saja terkejut dengan apa yang Ravindra ucapkan. Ingin bicara tetapi Klaus mendahuluinya.

"Apa tidak sebaiknya kita merencanakan dulu langkah apa yang akan kita ambil untuk menghadapi Adiratna?" usul Klaus yang sedari tadi hanya menyimak.

"Siapa Adiratna?" Nada kebingungan kentara sekali ketika Tasya menanyakan hal tersebut.

"Singkatnya dia adalah orang di masa lalu yang terlahir kembali berwujud Adelina," jawab secukupnya oleh Ziana.

"Maaf, Tasya. Kita tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan ini ke kamu. Kita harus bergerak cepat menyelamatkan nyawa Mala yang saat ini pastinya jadi sandera Adelina," sambung Ziana kemudian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Wajah penasaran Tasya berubah menjadi wajah kekhawatiran. Ia menurut saja dengan situasi dan kondisi saat ini. Memang harus segera bertindak.

Menelusuri bangunan terbengkalai yang lumayan besar dan sepi senyap. Mereka sampai pada anak tangga menuju lantai dua ketika mendengar suara isakan tertahan. Mereka yakin itu Mala. Derap langkah kaki mereka serta isakan tertahan itu terdengar semakin keras lantaran suasana bangunan yang begitu hening.

Sesampainya di anak tangga terakhir, tak jauh dari sana ada seseorang yang berdiri membelakangi mereka. Kemudian bergeser, memperlihatkan seseorang yang lain tengah duduk di kursi dengan keadaan terikat dan mulut tersumpal.

"Oh, sudah datang rupanya. Membawa bodyguard, yeah." Adel membalikkan badannya sembari terkekeh geli. Kedua tangannya menggenggam dua pistol miliknya pada masing-masing sisi tubuhnya.

"Apa maumu, Del?" Oh bodoh, dirinya tahu betul apa mau wanita di hadapannya ini.

"Masih tanya apa mau ku, heh? Ku kira sudah tahu." Dengan santainya ia melemparkan salah satu pistolnya pada Ziana dengan gerakan refleks langsung ditangkap.

Sedangkan Ravindra, Klaus dan Tasya diminta Ziana diam dua langkah di belakangnya. Ia mencoba mengikuti permainan Adelina atau Adiratna ini.

"Aku tahu." Ia menodongkan pistol yang ia pegang pada pelipis kepala kanannya. "Seperti ini, 'kan?" tanyanya sembari tersenyum miring.

"Ya. Seperti itu. Tepat di pelipis kepala sebelah kanan. Tunggu apa lagi? Kau sudah boleh menarik pelatuknya." Adel tersenyum jumawa melihat adegan di hadapannya. Memang seperti rencana A-nya, 'kan?

Ravindra yang melihat gerakan jari telunjuk Ziana pada pelatuk pistol pun tak mau tinggal diam. Ia berdiri tepat di samping Ziana dengan posisi yang sama. Ah maksudku, menodongkan pistol yang dimilikinya pada pelipis kepala sebelah kanan milik Ravindra.

"Bagaimana jika saya sebagai penggantinya, Adira? Sayalah penyebab kekacauan ini, bukan?" Gertakan Ravindra tak membuat Adelina kaget. Ia menatap datar pria itu.

"Oh, bagus sekali Jenderal Dante. Saya merasa terhormat melihat anda mati dihadapan saya. Alangkah baiknya jika kalian berdua sama-sama binasa." Adel kembali melihat Mala membuka penyumpal mulutnya, menodongkan pistol yang tersisa pada Mala.

Dorr!!

Tembakannya mengenai lengan atas Mala. Sontak hal tersebut membuat wanita yang masih terikat pada kursi itu semakin terisak kencang dengan tubuh bergetar ketakutan, membuat Ziana semakin marah.

"Jauhkan pistolmu dari Mala! Kau tidak akan sanggup untuk melukainya. Aku tahu itu. Aku lah yang kau incar. Kenapa bukan aku saja yang kau tembak, hah?" Kemarahan Ziana yang terpendam sedari tadi sudah ia keluarkan. Sedangkan respons Adel hanya terkekeh geli.

Adel memandang Klaus, "Kenapa hanya diam saja, sayang? Kau sudah menceritakan semuanya pada Ziana, 'kan? Jika sudah kenapa dia masih saja banyak bicara!?" Di akhir kalimat ia kembali menatap Ziana sengit.

"Bunuh diri lah dihadapanku! Itulah yang KUMAU." Ia menekankan.

Terlihat Mala menggelengkan kepalanya lemah. "Ja-jangan, Zi," ucapnya lirih menatap dalam pada manik mana hitam legam itu.

Ziana kembali menggerakkan telunjuknya pelan mencoba menarik pelatuknya. Tasya tak berkutik. Ia sedari tadi takut untuk bergerak. Sama halnya Klaus yang masih saja diam, entah hilang kemana keberaniannya untuk melindungi Ziana? Ravindra pula masih dalam posisinya terakhir kali, menodongkan pistol pada kepalanya sendiri.

Yeah, siapa yang tahu jika itu hanya untuk mengulur waktu saja. Menunggu keajaiban datang? Yang benar saja.

Mereka hanya bisa mengandalkan diri mereka sendiri saat ini.

BK7 - Kumparan WaktuWhere stories live. Discover now