XIV

203 43 20
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

Jika sihir Medusa adalah nyata dan sihir replika tidak memiliki kelemahan, maka seratus persen aku bersumpah bahwa sekarang aku sudah berubah menjadi patung.

Mataku terbelalak mengetahui adanya sekumpulan ular yang bersarang di gua gelap nan lembap ini. Mereka mendesis di sekeliling tubuh seseorang yang terbujur kaku di atas tanah. Ya, dialah ‘Medusa’ yang kumaksud. Tubuhnya membiru, bukan lagi pucat seperti orang-orang di ruangan bawah tanah. Matanya terpejam, dan rambutnya ... sangat mirip dengan apa yang dikisahkan oleh buku milik Arctur, dan orang itu ... aku mengenal wajahnya.

“K-kenapa ibuku ada di sana?” tunjuk Eris dengan terbata-bata. Aku meringis ngeri menatapnya sekaligus ikut kebingungan. Lalu siapa wanita yang selama ini mengaku menjadi ibu Eris? Ataukah, kami melewatkan sesuatu?

Eris bangkit, ia mengacungkan tongkatnya ke depan. “Serpensia interfisa.”

Lecutan cahaya dilemparkannya ke salah satu ular, namun sayangnya mantra itu tidak membuat si hewan terbunuh. Justru hanya mendesis marah dan ... “Oh, sial,” umpatku. Ular-ular itu kini menyadari bahwa keberadaan kami di sini adalah sebuah ancaman.

“Kita pergi ke luar, Eris!” pintaku serius, namun pemuda itu justru terpaku di tempat dengan tubuh gemetar.

“T-tapi-”

“Bagaimana kalau itu bukan ibumu?” tanyaku yang siap menarik lengannya.

Eris menatapku dengan bingung. “Bagaimana jika sebaliknya?”

Sebenarnya bernegosiasi bukanlah waktu yang tepat sekarang. Ular-ular itu hampir mendekat dengan taring-taringnya yang runcing.

Kuremat tanganku dengan mata terpejam sebentar. ‘Ayolah, Helix. Kau pasti bisa. Ular-ular itu akan tetap meneror dan membuat semua orang di sini beku satu-persatu. Kau juga sudah berjanji akan membantu, maka tidak ada jalan keluar dari desa sebelum kau menyelesaikannya,’ gumamku dalam hati. Yah, setidaknya aku berusaha. Jika sesuatu terjadi, maka itu akan menimpaku, bukan teman-temanku.

Tongkatku teracung dan tubuhku bersiap.

Occiderus! Perdisa! Nocinnare! Conteressum!

Terdengar bunyi ledakan kecil dan gemuruh setiap kali aku melemparkan mantra, namun sia-sia saja karena tidak satu pun ular-ular itu mati. Mantra apa lagi yang harus kugunakan? Sekarang aku terlihat bagaikan seorang pengecut yang perlahan-lahan berjalan mundur.

“Eris?” Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggil dari arah belakang kami. Luar biasanya lagi, orang itu adalah wanita yang sangat mirip dengan dia-yang-terbaring bersama para ular.

“Mungkinkah ibumu kembar?” bisikku heran sekaligus gugup.

“S-siapa namamu?” tanya Eris mencoba memberanikan diri.

Wizards Journey : The Cursed VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang