8.

66 6 1
                                    

That Cat Sleep

Dari jauh ku lihat ibu gemetar, lututnya jatuh bersimpuh di lantai. Ayah panik, tidak tahu harus berbuat bagaimana, dia masih ingin mendengarkan si penelpon tapi ibu tidak dalam kondisi yang baik, ia mulai terisak. Suara tangisnya yang memilukan mengisi seluruh rumah.

‘’Tenang, kita harus tenang. Kita kesana segera. Semua akan baik, dia akan baik-baik saja,’’ ayah berusaha mengendalikan situasi, menenangkan ibu dan meninggalkan piranti telepon, membiarkan orang di seberang sana berbicara sendiri.

Tapi si penelpon tampaknya ingin menyampaikan sesuatu lain yang sangat mendesak.

‘’Halo? Halo?’’ Ucap si penelpon, gusar. Karena tidak direspon, akhirnya ia membentak keras.

‘’Jadi bagaimana sekarang? Tolong jawab, jelaskan!’’ Pekik ayah, malah balas menekan. Setelah itu semua terdiam sebentar.

‘’Mohon tenang sebentar. Tolong kerjasamanya, saya mohon dengarkan saya.’’ Suara di balik telepon melembut, lebih tenang.

”Saya paham bahwa ini sulit. Perusahaan sudah menyiapkan mobil untuk menjemput Tuan, tidak perlu datang sendiri, kami sedang berusaha mencegah wartawan dan juga memperlambat sebaran informasi. Mohon kerjasamanya.” pintanya.

Ayah setuju. Setelah telepon ditutup, aku yang bersembunyi keluar dari balik tembok dan pura-pura bertanya apa yang terjadi. Selama menunggu jemputan, kami semua duduk di ruang Tv, ibu berhenti menangis, tapi kemudian terisak kembali dan terus-menerus meminta ayah menelpon staff atau teman-teman Mikio. Ayah menolak dan lebih memilih mondar-mandir dengan wajah pucat. Selama itu aku pikir waktu berjalan sangat lambat dan semua yang terjadi seperti tayangan slow motion yang terekam oleh kedua mataku.

Hampir dua jam kemudian, mobil yang menjemput kami datang. Aku duduk di kursi depan bersama si pengemudi, sementara ibu dan ayah duduk di belakang. Tidak ada yang bicara di antara kami, sesekali suara tangis ibu kembali terdengar, kulihat dari kaca dashboard, ayah acapkali mencabut lembar tissue lalu memberinya pada Ibu. Aku memilih memperhatikan pelataran toko dan juga pohon-pohon yang daunnya telah berguguran, menyisakan ujung-ujung ranting yang tajam meringsak pada pemandangan langit di sepanjang jalan. Kabut tipis mengambang diatas permukaan sungai, menutup garis perairan yang tanpa ujung. Udara dingin dan perjalanan yang memakan waktu membuatku tertidur. Ketika aku bangun, pemandangan telah berubah, puluhan kendaraan berseliweran dari berbagai arah, suara klakson silih berganti sahut-sahutan, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi dan papan iklan membentang di berbagai sudut. Pemandangan sesak dan riuh khas kota metropolitan.

Di rumah sakit, teman-teman Mikio dan staffnya tengah menunggu di koridor. Mereka berdiri begitu melihat kami datang dan membungkuk—memberi salam. Tidak satu pun dari mereka yang kelihatan biasa saja, semua wajah tertekuk dalam diam. Ibu sudah sedikit lebih baik mengendalikan perasaannya, ayah menuntun ibu duduk di kursi yang tersisa. Mereka semua duduk, hanya aku yang berdiri.

Ayah membuka suara ”Apa yang sebenarnya terjadi? ucapnya, merendah.

Salah seorang staff angkat bicara, memberi penjelasan.

”Kemarin malam setelah acara pertemuan dan tangan dari penggemar. Mikio menerima banyak hadiah, termasuk makanan dan minuman ringan. Dia minum sebotol soda pemberian penggemar yang sepertinya sudah dicampur racun. Dan disinilah kita sekarang.” Setelah berkata seperti itu, jakun pria itu bergulir menelan saliva.

Mereka, para staff juga bilang bahwa mereka sempat berbicara dengan dokter lalu berkata kepada ayah dan ibu secara jujur bahwa dia tidak dalam kondisi yang baik.

Ibu kembali menangis untuk kesekian kalinya, dan ayah yang mencoba untuk tenang juga mulai tegang. Salah seorang teman Mikio, memanggilku untuk duduk, ia bergeser dan menepuk tempat kosong disebelahnya. Aku yang tidak bereaksi apa-apa sejak mendengar berita ini duduk disebelahnya tanpa ekspresi.

The Cat Sleep [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang