4.

91 12 2
                                    

Aku memutuskan untuk menunda sarapan, daripada harus berhadapan dengan Mikio. Sambil mencuci piring sesekali aku melirik meja makan di depan dapur. Mikio kelihatan sangat menikmati masakan yang dibuat ibu. Dia menyuapkan nasi dan lauk, kemudiannya mengunyahnya dengan cepat seperti orang kelaparan.

"Tidak sarapan?" tanya ibu yang sedang melettakkan teko teh ditengah meja ia melihatku hendak mendaki tangga disisi ruang makan. Aku batal menginjakkan kakiku diatas anak tangga.

Aku merubah pikiran dengan cepat dan diam-diam menghela nafas. Kemudian duduk di salah satu meja di sebrang Mikio dengan posisi menyilang.

''Kenapa duduk disini?'' Ia mendorongku dengan ekspresi wajah dan juga tatapan matanya-menyuruhku pindah. Tapi memang sebelum aku duduk ibu sudah melettakkan mangkok nasi dan piringnya disana. Dengan berat hati aku pindah.

Ibu menghidupkan kompor untuk memanaskan sup asparagus, kemudian makan sambil berbicara. Aku kembali menangkap hal berbeda dari suara ibu, intonasi biacara jauh lebih tinggi, mood ibu benar-benar penuh, tidak seperti ketika tahun baru. sekarang semua tampak seperti biasa.

Aku memperhatikan Mikio, ia menuangkan mayonaise dan cabai diatas spring roll udang. Merasa diperhatikan ia memutar matanya, balas melirikku dengan tatapan menekan. Aku segera berpaling, mencomot telur dadar dan belut goreng dengan sumpit, lanjut menyuapkan nasi.

Ibu menyenggol lenganku.

"Kenapa kau sangat kaku? itu kakakmu, bicaralah dengannya!"

Aku cuma menunduk canggung mendengar itu. Pelan-pelan aku mengunyah nasi yang tiba-tiba susah ditelan.

"Kau selalu bertanya kapan Mikio akan pulang kalau dia tidak ada, sekarang dia ada di depanmu" Tambah ibu. Ingin rasanya aku berlari menaiki tangga masuk ke dalam kamar dan membenamkan wajah dalam bantal seharian.

Aku mengangkat kepala, melihat Mikio. Dia menyeringai tipis sambil menuangkan teh hijau kedalam gelas. Bibirnya berbicara halus hampir tidak terdengar.

''Bodoh'' katanya menudingku sembunyi-sembunyi menutup wajah dengan gelas. Aku mendengus pelan.

''Dulu ketika masih kecil, kau selalu menunggu Mikio pulang sekolah di depan pintu rumah. Setelah dia pulang kau selalu mengikutinya kemana pun bahkan marah kalau dia pergi'' Ibu mulai bercerita tentang masa kecil kami, kemudian tertawa bangga. Aku menyimaknya sambil menikmati sup asparagus, makanan penutup sarapan.

''Kamu juga selalu percaya apa yang dia bilang, meskipun kadang-kadang dibohongi''

Sementara Mikio telah menghabiskan nasi di mangkoknya tapi ia masih terus lanjut menikmati hakau goreng minyak cabai buatan ibu dan makanan kecil lain.

Sementara ibu berbicara, aku memperhatikan Mikio. secara penampilan dia telah banyak berubah. Mikio yang terpahat di ingatanku adalah Mikio dengan tubuhnya yang berisi, pipi yang chubby, model rambut yang tidak punya variasi dan kelihatan polos seperti kutu buku.

Yang duduk di depanku rasa-rasanya seperti orang lain bila dibandingkan dengan ingatan masa lalu. Mikio menggunakan kaos putih tanpa lengan. Lengannya dulu tebal dan berisi sekarang lebih ramping, jika ia melipat tangan, otot-otot lengan yang tipis mencuat, tampaknya Mikio cukup rajin olahraga. Tidak ada lagi pipi yang chubby dan tubuh gemuk berisi. Wajah tirus dengan garis rahang yang meninggalkan kesan kuat telah memudarkan citra polos yang melekat pada Mikio. ditambah tindikan anting magnet kecil-seperti baterai jam yang menempel ditelinganya.

Satu hal yang masih tersisa dari masa lalu adalah kantong matanya yang tebal itu.

"Kalau mengingat masa-masa itu, rasanya waktu berlalu sangat cepat. Kamu sekarang sudah besar, sebentar lagi akan berusia 17 tahun"

Aku mengiyakan ucapan Ibu dalam diam. Meskipun menyebalkan tapi ibu telah melunturkan sedikit kecanggungan yang membatasi aku dan Mikio.

''Ayah kemana Bu?''

''Ayah sudah pergi pagi tadi sebelum kalian berdua bangun, katanya mau melihat lukisan.''

The Cat Sleep [Selesai]Where stories live. Discover now