2.

199 13 15
                                    

Minggu kedua Oktober, satu hari selang setelah mimpi itu. Ibu melipat kulit pangsit di dapur untuk hidangan tahun baru dan Thanksgiving. ia mengisi kulit dengan olahan udang dan ayam cincang yang telah diberi rempah. Tangannya secara otomatis terus bekerja tanpa kesalahan, seperti robot kosong yang dikendalikan dari portal dunia lain.

Bahkan aroma minyak wijen yang kentara itu tidak menembus hidungnya, karena ia sibuk memikirkan banyak hal, seolah beban-beban di pikirannya telah menutup indra penciumannya.

Ibu tersentak ketika telepon rumah berdering tiga kali. Ia mengomel kesal karena tidak ada yang perduli.

"Kenapa tidak diangkat?"

Aku keluar dari kamar menemui ayah yang sedang menonton siaran kemacetan libur Thanksgiving di televisi baru. Layar cekung tv 71 inchi yang menyerupai cinema bioskop itu menampilkan gambar jernih dan bersih, sangking jernihnya dirasa pantas menampilkan tayangan dari surga. Warna-warna grafis berstandar ultra high definition berkilau menempel di dinding putih seperti bercak aurora.

"Di dunia ini hanya ayah yang bisa meniru tanda tangan kakak. tolonglah ayah, aku merasa tidak enak dengan teman-temanku" aku meletakan tumpukan booklet album pada meja di hadapan ayah.

Ayah mendengus kesal, dia bilang aku mengganggunya, tapi akhirnya ayah menyerah. Ia mengambil spidol membuka booklet itu satu-persatu dan mencari lembar kosong.

"Hallo?" Ibu menjawab telepon dengan gusar. Aku diam-diam menguping dan melirik dari ruang tv.

Nada bicara yang lembut dan tulus dari seberang membuat ibu terdiam. Aku yakin dan aku tidak salah lihat, mata ibu berkaca-kaca. Ketika aku mendengar ibu menyebut nama si penelpon, ada sensasi yang menggelitik punggungku, kecemasan itu datang kembali. Aku seperti dilemparkan lagi ke dalam mimpi itu.

"Apa semua berjalan dengan lancar? bagaimana dengan teman-temanmu?"

Sudut bibir ibu terangkat, ia tersenyum tipis. Samar-samar aku mendengar suara datar si penelpon.

Ingatan soal mimpi itu. Walaupun hanya mimpi, tapi bukankah orang-orang bilang mimpi juga bisa menjadi sebuah petunjuk.

Aku tahu dibalik nada berbicara ibu yang tenang, ia mungkin juga menyimpan kekhawatiran dan bebannya sendiri, namun berbeda denganku, bukankah ketakutan tentang mimpi itu terlalu liar.

''Jadi kamu akan pulang saat thanksgiving?''

Aku tahu pasti jawaban dari pertanyaan itu dan aku juga tahu mungkin ibu lebih terluka dari sebelumnya.

''Baiklah, ibu mengerti. Nikmati pekerjaanmu, bersenang-senang dan makan makanan yang enak, jangan lupa minum vitamin. Mau ibu panggilkan adik atau Ayahmu?'' Ibu melirik kami sejenak dengan wajah agak kesal.

Aku mengambil salah satu booklet album yang sudah dibubuhi tanda tangan palsu milik ayah. Aku memeriksa isinya, walaupun sudah sering kulihat. Bagian kotak cd sudah kosong, temanku mungkin sedang memutarnya disuatu tempat sekarang. Hanya ada halaman berisi lirik lagu, gambar-gambar anggota band dan ucapan terimakasih. Sampul depan booklet ini sangat tebal dan keras. Aku memperhatikan simbolnya, kupu-kupu besar yang tergambar dari benang berwarna biru, merah dan kuning cerah. aku tidak paham seni, tapi aku pikir orang yang mendesign ini pasti punya jiwa seni yang tinggi.

"Terimkasih kepada ibu, ayah, adik yang sudah mendukungku. Juga teman-teman, manajer, staff dan direktur label rekaman kami yang telah bekerja keras, tanpa mereka album ini tidak ada apa-apanya. Dan juga untuk sepupuku yang paling berharga, aku mempersembahkan ini untukmu, aku sangat mencintaimu, aku yakin kamu senang sekarang, istirahatlah dengan baik."

The Cat Sleep [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang