7.

67 9 6
                                    

Gambaran tentang mimpi-mimpi sebagiannya sudah hilang, namun potongan yang tersisa seperti trauma yang terus-menerus menempel padaku.

Aku pergi ke kamar Mikio, semburat cahaya redup berpendar dari celah bawah pintu kamarnya. Aku mengintip sedikit, dia tengah berbaring miring diatas tempat tidur yang tingginya hanya setengah betis. Pelan-pelan aku masuk sambil membawa bantal. Harum lembut lilin aroma apel menyambutku di dalam kamar. Ada sedikit tempat tersisa di ujung kasur. Aku berbaring disisi yang tersisa, kamarnya terasa lebih hangat, mungkin karena lilin.

Mikio menyadari kehadiranku, ia membuka sebelah matanya—melihatku, lalu merebut bantal yang kubawa dan memukul kepalaku dengan bantal itu.

”Tidak bisa tidur?” ia bertanya. Aku balas dengan anggukan.

”Terbangun karena suara hujan.’’

Kilat sesekali meringsak masuk lewat jendela diikuti dentuman keras petir.

”Kalau tidak bermusik, kira-kira kakak akan menjadi apa sekarang?” Aku memecah kesunyian di antara kami. Aku tahu dibalik tembok itu dia belum tidur.

”Tidak tahu. Ketika aku seumuran denganmu aku tidak punya bayangan ideal tentang masa depan, cuma melakukan apa yang aku suka,”

”Apa ya? mungkin aku akan jadi sesuatu yang sederhana seperti, akuntan, pengacara, bekerja di kantor, mungkin juga menjadi guru.”

Pikiranku mulai membayangkan berbagai macam hal yang berkebalikan dengan masa sekarang. Jika seandainya Mikio memilih jalan yang berbeda, apa yang akan terjadi? Bagaimana dengan keluarga ini? Aku tidak bisa membayangkan dia menjadi seorang pekerja kantoran yang formal.

‘’Ngomong-ngomong kenapa jadi bertanya seperti ini?’’

‘’Hanya bertanya saja.’’

”Lalu kalau menjadi populer rasanya seperti apa?” pertanyaan yang terlontar dariku cocok untuk mengisi kolom interview majalah.

Mikio tertawa.

”Aku tidak populer. Aku bekerja sebagai pembuat musik. Orang lebih mengenal vokalis ketimbang yang menulis lagu.”

‘’Itu benar, tapi tidak sepenuhnya benar,’’ aku membantah. ‘’Banyak yang membicarakan kakak, memuji si pencipta lagu. Itu juga karena mereka tahu kakak menciptakan banyak lagu untuk penyanyi lain.’’

”Bahkan keluarga kita.” sambungku.

”Keluarga? Mereka bicara baik atau buruk?”

”Mereka tidak berbicara buruk. Mereka memuji, sangat bangga, seolah paling tahu, dan aku tidak suka itu, menurutku berlebihan saja.”

”Aku tidak membuat semua musik sendirian, ada campur tangan orang lain. Lalu apa lagi?” tampaknya ia penasaran dan ingin tahu lebih.

”Oh ya. Acara tv yang datang ke sekolah kakak. Mereka mewawancarai si kepala sekolah. Aku hanya ingat bagian ketika pertanyaan, bagaimana si ‘itu’ saat sekolah, apa dia baik atau bagaimana? Si kepala sekolah bilang ‘dia anak yang baik, pintar dan cerdas, disukai para guru, selalu berprestasi. Saya tahu dia pasti akan sukses,’ begitu katanya.”

”Masih kepala sekolah yang lubang hidungnya besar sebelah?”

Aku mengganguk yakin ‘’sepertinya iya.’’

‘’Dulu aku mengajukan diri untuk kompetisi matematika dan musik. Kepala sekolah menolakku dengan cara tidak mau menandatangi biaya akomodasi.’’

‘’Kenapa begitu, bukankah kakak dulu sangat pintar?’’

The Cat Sleep [Selesai]Where stories live. Discover now