6.

71 9 2
                                    

‘’Dari mana anjing hitam itu?’’ tanyaku. Mikio mengusir anjing itu dengan mengibaskan tangannya. Mulanya si anjing hanya terdiam menatap kami lamat-lamat, setelah Mikio mengusirnya lebih keras, akhirnya anjing itu turun dari mobil, kemudian pergi dan menghilang entah kemana.

”Di musim gugur yang dingin seperti ini, anjing dan kucing liar suka mencari tempat hangat untuk tidur.” Mikio masuk kedalam, kemudian memutar kunci mobil.

”Kau tidak suka anjing?” Tanyanya, memerhatikan kaca spion sambil memasang sabuk pengaman.

”Tidak, mereka brisik apalagi yang berwarna hitam.”

Mikio tertawa, ia menghidupkan music player, memutar lagu dari siaran radio. 15 menit kemudian, kami akhirnya sampai ke sebuah kolumbarium yang agak jauh dari pusat kota. Kolumbarium ini bangun dengan bentuk bundar seperti colloseum di sekitar area pelabuhan dan pantai. Mikio menarik rem tangan, dengan mudah  ia memarkir mobil dengan posisi sempurna.

‘’Mau tunggu disini atau ikut kedalam? Aku tidak akan lama, mungkin hanya 10 menit.’’ Ia mengambil pemantik api dari laci dashboard.

’’Tunggu disini saja,’’ jawabku singkat–berbicara pada bayangannya di kaca pintu jendela yang berembun. Setelah itu dia keluar dari mobil meninggalkan pantulan wajahku sendiri yang dikerubung cipratan air hujan. Mikio membuka pintu belakang untuk mengambil bunga dan sebuah lilin aroma yang ia simpan di kursi belakang, setelah itu dari balik kaca aku melihatnya semakin menjauh sebelum menghilang ke dalam gedung. Tinggallah aku sendiri dengan pikiranku.

Ibu bilang bahwa Mikio memiliki hubungan yang dekat dengan orang yang abunya di simpan di bangunan ini. Aku tidak bisa menilai hubungan mereka sejauh mana, aku juga tidak tahu dan tidak berani menyinggung masalah ini, sebetulnya apa yang dirasakan kakakku ketika ia mengetahui bahwa orang yang dekat dengannya itu sudah pergi? Aku sedikit penasaran, kadang-kadang aku mengingat kembali tentang orang-orang yang pernah mampir ke kehidupanku, namun pergi lebih cepat, aku membayangkan perasaan orang-orang dekat yang tersisa. Aku tidak pernah merasakan kehilangan orang yang begitu berharga karena sejujurnya aku tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan siapapun. Aku tidak pernah melihat kakakku menangisinya, bahkan dia terlihat sangat tenang sepanjang upacara pemakaman. Dan pada akhirnya aku tetap memilih untuk menyimpan pertanyaan itu dalam kotak bertuliskan ‘bukan sesuatu yang harus aku ketahui’.

Angin berhembus dengan lembut, namun karena ini musim gugur yang dipenuhi hujan, udara yang bertiup-pun dinginnya begitu menggigit. Setiap kali aku berbicara, uap tipis akan merebak dari mulutku seperti kopi panas yang baru diseduh. 15 menit kemudian, Mikio tampak keluar gedung.

Mobil sedan milik ayah kembali menapaki jalan aspal yang beku dan basah. Kami mampir di kedai mie—yang menurutku itu adalah kedai mie terbaik dan terenak yang ada di kota ini. Mikio memarkirkan mobil agak jauh dari kedai, sehingga kami harus berjalan lagi untuk kesana. ketika menyebrang jalan dia selalu memegang lenganku untuk merapat pada badannya.

Aku memperhatikan jam tangan karet berwarna putih yang melingkar di tangan Mikio. Aku benci terjebak dalam kecanggungan, perasaan yang paling tidak aku sukai adalah kecanggunggang dengan kakakku sendiri. Aku berharap pesananku cepat datang, malang, kedai makan ini cukup ramai pengunjung, jadi sia-sia aku berharap.

Hubunganku dengan Mikio tampaknya sudah begitu jauh, kami bagaikan dua orang teman dekat yang terpisah lama, kemudian berpisah karena masing-masing sudah memiliki teman baru dan kehidupan yang sibuk sehingga hubungan yang hangat itu perlahan memudar dan kehilangan rasa.

Pegawai kedai datang mengantar pesanan dan menyimpannya diatas meja sambil memasang tampang ramah.

Mikio memesan sup kaldu udang dengan isian utama kulit tahu, irisan jamur, sayuran dan tambahan wonton kukus udang. Ia mencium sesendok aroma kuahnya–itu merupakan kebiasaaannya ketika mencicipi makanan dan minuman, ia melakukan hal yang serupa ketika membuka botol bir dingin.

”Boleh aku mencoba itu?” Aku menunjuk botol bir. Mikio tertawa.

”Belum cukup umur.” katanya sambil menggeleng.

Hujan turun lagi, lebih deras dari sebelumnya. Pegawai toko menutup pintu kaca, mereka mengubah musik tradisional china menjadi musik instruman jazz dan menaikkan volumenya.

”Sanggup menghabiskan semuanya?” Aku mengangguk dengan percaya diri menjawab pertanyaan Mikio, ia kembali tertawa.

''Kau benar-benar mirip denganku saat remaja, gendut dan selalu lapar.''

Semangkok mie dengan losbter, daging bakar, berbagai gorengan, paket makanan kukus dan pao, sepertinya aku memang memesan terlalu banyak.

”Bagaimana dengan sekolahmu?” Mikio mencampurkan minyak cabai kedalam sup, ia juga menambahkan satu sendok bawang putih yang digoreng kering kedalam kuah.

”Aku tidak tahu, mungkin terlalu biasa. Kecuali pelajaran matematika?”

Mikio menaikkan sebelah alisnya–penasaran, ia menginginkan jawaban yang jelas.

”Sangat buruk” jelasku.

”Itu karena kakak tidak ada disini, jadi tidak ada yang membantu mengajarkanku.” Aku memaksakan senyum dan sedikit tawa, kalimat yang aku ucapkan dengan sangat jujur, berharap dia memahami maksudku. Aku benci diriku yang kadang terlalu jujur dan ekspresif

#########

Sudah lewat jam 10 malam, aku memeriksa jam weker di meja nakas. Hari ini orang rumah tidur lebih cepat dari biasanya. Udara semakin hari semakin dingin, pemanas pun tidak kuat meredam udara beku musim gugur yang penuh hujan. Meski lampu kamar telah padam, aku tidak kunjung bisa tertidur, padahal badanku cukup letih. Aku bergerak gelisah, balik kiri dan kanan mencari posisi yang nyaman. Aku memutar musim klasik dan mengambil secarik gambar kumpulan kucing yang ku simpan di laci nakas. Aku menghitung jumlah kucing untuk membuat kepalaku jenuh dan berharap tertidur karena itu.

Ketika rohku terangkat—mulai beranjjak dari ragaku. Segerombolan bayangan hitam seperti jutaan semut merayapi kakiku—bayangan itu muncul ketika alam bawah sadarku telah selangkah menginjak dunia mimpi, aku tersentak. Kaca jendela dan plafon rumah bergetar dipecut gemuruh gluduk. Aku merasakan sesuatu yang hidup dalam rongga dadaku, sesuatu itu membuat tanganku menjadi berat dan lemas. Aku bisa merasakan ketukannya yang mendesir di urat-urat dan syaraf telapak tangan, itu adalah degup jantungku sendiri yang terasa sangat berat. Mimpi yang singkat namun seperti terror yang nyata.

Mimpi buruk datang kembali setiap aku mencoba memejamkan mata, hawa mencekam tiba-tiba melingkupi kamarku, musik klasik jadi terdengar tidak menyenangkan. Aku dipenuhi rasa takut, semakin melawan, semakin aku ketakutan. Hujan bertambah deras, deru suara petir juga menjadi lebih intens.

The Cat Sleep [Selesai]Where stories live. Discover now