3.

120 12 4
                                    

bloggpribadi_biem@instagram.com

Original: biemkura.wordpress.com/

#########

Perayaan tahun baru telah berlalu hampir seminggu. Mimpi itu juga sudah tertinggal, tapi aku masih terus memikirnya sambil berbaring menatap langit-langit kamar.

"Kalau bisa memenangkan perlombaan itu, aku akan membawamu ke desa kucing.''

''Memangnya ada desa seperti itu?''

Waktu itu dia berbicara begitu dengan santai dan datar, seolah bisa mewujudkannya dengan mudah. Ketika aku membayangkan desa kucing, ingatanku kembali pada hari dimana aku menemui Mikio dibelakang panggung tepat 20 menit sebelum konser musim dingin ia dan bandnya di mulai.

Aku memutar badanku menghadap tembok sambil menarik selimut. Aku melettakkan telapak tangan diatas tembok kamar yang dingin, ruang dibalik tembok ini adalah studio kecil yang dipakai Mikio untuk membuat musiknya jika ia sedang di rumah. Kadang-kadang dari balik tembok ini aku mendengar ia memainkan gitarnya berulang-rulang.

Ekspresi wajahnya yang tenang terpahat dalam ingatanku, aku membayangkan ia duduk disana sambil memainkan intrumen piano dengan lembut dan manis. Melody hangat itu menyala dalam kepalaku seperti kotak musik yang menyanyikan lagu penghantar tidur pada musim dingin penuh kedamaian. Dan dengan bayangan itu aku jatuh ke dalam mimpi lain bersamaan dengan kepulangan Mikio yang tidak aku ketahui.

Pukul 3.00 pagi Mikio mengetuk pintu rumah. Ia diantar oleh manajernya yang kemudian menginap di hotel. Ibu yang sulit tidur nyenyak akhir-akhir ini, terbangun dan membuka pintu. Ia mendapati Mikio berdiri di depan pintu mengenakan sneakers putih, celana hitam, jaket parasut kerah tinggi berwarna kream dan biru pada bagian bahu- mirip penampilan seorang atlit. Rambut pendeknya dikuncir kuda, dengan poni yang tertata rapi, agak terpinggirkan.

Mikio tersenyum, wajahnya kelihatan letih dan mengantuk. Ibu memeluk Mikio, rasa rindu itu kini terbayar tuntas. Kebahagiaan meluap-meluap di udara, ibu menepis perasaannya yang tergambar pada kedua mata yang berkaca-kaca.

"Aku ingin tidur dulu sekarang, aku benar-benar lelah" Mikio menatap ibu lamat-lamat sebentar dengan sedikit senyum tipis.

**********

Aku berjalan keluar dari kamar, menelusur sudut ruangan berwarna kream. Rumah ini tampak seperti kapal yang diguncang badai, tumpahan air menggenang di lantai dengan cangkir-cangkir yang pecah menjadi butiran pasir. Kotak-kotak, koper dan pakaian berserakan di ruang tamu. Aku berjalan tanpa menginjak satu-pun barang diatas lantai. Dalam dunia yang waktunya begitu cepat, aku berpindah tempat dan melihat lukisan kupu-kupu yang menggantung di tembok. Aku merasakan telapak kakiku dingin, ketika aku menundukkan kepala, kakiku menginjak tumpahan eskrim cone vanilla yang telah hancur.

Aku duduk di ruang tv menyaksikan ibu yang juga sedang duduk di sofa berwarna kream orannye-senada dengan warna tembok. Mikio tertidur lelap dengan posisi miring, kepalanya berpangku diatas paha ibu.

Aku menoleh, terdengar suara pintu. Ayah telah pulang, ditangannya ia membawa lukisan pemandangan alam hijau dan sungai dalam sebingkai kanvas. Lukisan itu tampak begitu hidup padahal hanya berupa guratan cat dengan gaya impresionisme dalam lingkup matahari yang terbenam, garis-garis kecil tetesan hujan kerlap-kerlip tipis bergantian menyala, terlihat sungai yang memotong daratan hijau-airnya benar-benar jernih dan ketika aku menyentuhnya akan terbentuk lapis demi lapis lingkaran riak air yang melebar. Ayah berbicara banyak tentang lukisan itu. Aku tidak bisa menangkap pembicaraannya karena terus memperhatikan ranting dan batang pohon yang mencuat masuk ke dalam rumah melalui jendela, tepat di belakang ayah. Pohon itu tumbuh di tempat yang salah. Rantingnya yang panjang tampak tajam dengan daun berbentuk aneh berwarna biru dan merah jambu. Kalau di perhatikan lebih lekat, seekor buruk hantu kecil menyelip di antara semak-semak daun dan batangnya. Burung hantu berwarna abu-abu hitam, bermata bulat gelap yang bersinar menusuk keremangan dan membawa ketakutan-menikam jantung.

Ketika menoleh kebelakang. Ibu masih duduk di sofa, sementara Mikio telah digantikan oleh seekor kucing putih gendut yang kelihatan polos dan lembut. Kucing itu tidur diatas pangkuan ibu, suara dengkurannya halus seperti terpaan angin musim gugur.

Genangan air membuat satu kakiku terplintir, ruangan ini berputar keatas dengan cepat dan kepalaku terbanting ke lantai. Mataku terbuka lebar menatap cahaya putih yang menempel di plafon kamar setelah seluruh badanku tersentak kejang. Begitulah aku aku keluar dari dimensi mimpi aneh itu.

Aku bangun menepis selimut yang menutup sebagian badanku, kemudian duduk diatas kasur. Sinar matahari menembus gorden biru dan menempel pada tembok hingga membuat bercak terang diantara suasana redup. Waktu menunjukkan pukul delapan lewat 10 menit. Karena mimpi terpleset badanku jadi lemas, dan jantung ini rasanya seperti habis disetrum.

Aku keluar dari kamar 10 menit sebelum jarum pendek menginjak angka sembilan setelah cuci muka dan sikat gigi. Tampak ransel hitam di atas sofa ruang tv dan koper kecil yang berdiri di lantai, diatas gagang koper tersibak jaket parasut putih biru yang mirip jaket atlit itu. Aku berjalan ke dapur ketika mencium aroma tumisan bawang. Ibu baru saja keluar dapur menaruh piring makanan di meja, kemudian kembali lagi ke dapur. Ketika aku mengambil air minum di dispenser, ibu menyadari kehadiranku dan ia menoleh.

''Kau sudah bangun?'' tanyanya, ada yang berbeda dari nada suara ibu. Aku mengangguk kecil lalu meneguk air.

''Sarapan sudah siap'' ibu meletakan lauk lain di meja ''tolong panggilkan kakakmu ya!''

''Huh?'' otakku yang belum sadar penuh berusaha mencerna kalimat ibu. Aku tidak menyadari bahwa barang-barang di ruang tv itu adalah barang milik Mikio.

Mikio pulang? Aku membantin.

''Baiklah akan ku panggilkan'' Ketika aku memutar badan, melangkah keluar dari dapur dan saat itu Mikio sudah berdiri di belakangku. Dia menatapku datar selama 10 detik sambil menjilat bibir. Kemudian berlalu tidak perduli, mengambil gelas dan air minum.

Biem

April 27, 2020

The Cat Sleep [Selesai]Where stories live. Discover now