Part W

485 26 4
                                    

Aku berjalan memasuki rumah Adit bersama Pram dan Ardi. Awalnya aku ingin ke rumah sakit karena berpikir lelaki itu sedang menemani ibunya di sana. Namun Ardi menyarankanku untuk menghubungi Adit terlebih dahulu. Beruntung aku menuruti nasehat Ardi karena jika aku langsung ke rumah sakit, lelaki itu tidak di sana. Adit memberi tahu kalau dia sedang di rumah.

Setelah berada di dalam, dapat ku lihat Adit sedang tertidur di atas sofa dengan satu lengan berada di dahi. Hatiku sakit melihat Adit sangat berantakan. Aku mendekati lelaki itu, memandangi raut lelah yang tergambar jelas di wajahnya.

"Eh kalian udah di sini." Adit tiba-tiba membuka mata dan merubah posisi menjadi duduk. "Kalian duduk dulu. Bentar, gue ambilin minum."

Aku langsung duduk di samping Adit. "Nggak usah. Kami kesini bukan buat numpang minum. Kakak di sini aja."

Adit menatapku. "Oh gitu. Yaudah," jawab Adit singkat. Dia seperti bukan Adit yang ku kenal.

"Kondisi ibunya kakak gimana?" tanyaku hati-hati. Aku paham betul ini topik yang sensitif, namun harus ku tanyakan.

Adit menghela nafas panjang lantas menunduk. Lelaki itu tidak merespon beberapa saat. Sepertinya kondisi ibunya lumayan parah.

"Kak?"

"Dia kena serangan jantung."

Aku terkesiap. "Se-serangan jantung?

Adit semakin menunduk. Dapat ku lihat bahunya bergetar. " Sekarang dia kritis, Rif," ucapnya. Aku tak bisa berkata apapun lagi. Ini semua pasti sangat berat untuk Adit.

Tak berapa lama kemudian, Adit memelukku erat. Ia menangis dalam pelukanku. Hatiku sakit melihat Adit serapuh ini.

"A-aku nggak bakal bisa maafin diriku sendiri kalau sampai Mama-," perkataan Adit tercekat. Ia kembali menumpahkan semuanya di bahuku.

"Semua bakal baik-baik aja, Kak," ucapku sambil menyeka air mataku yang ikut keluar. Aku benar-benar tidak sanggup melihat Adit seperti ini.

"Ini semua salahku, Rif. Mama kayak gini gara-gara aku."

"Enggak, Kak. Semoga udah jalannya kayak gini. Pasti ada hikmah di balik ini semua."

Adit menggeleng keras. "Semua masalah berasal dari aku." Lelaki itu terus berbicara walaupun nafasnya tersenggal.

"Udah, Kak. Kita berdoa aja biar tante baik-baik aja."

"Maaf, Rif." Adit mempererat pelukan. "Kamu jadi kena masalah juga karena aku."

"Kakak jangan kayak gini. Aku nggapapa."

"Tapi aku udah bikin-"

"Ssstt!" Aku memotong ucapan Adit. "Sekarang aku disini bukan untuk mendengar semua permintaan maaf kakak. Aku di sini buat nemenin kakak. Apapun yang terjadi, bagaimanapun kondisi hubungan kita, aku akan tetap di samping kakak."

Adit melepaskan pelukan. Lelaki itu menatapku lekat. "Makasih, Rif."

Aku balas menatap. "Sama-sama, Kak."

Suara pintu terbuka mencuri perhatian kami. Sontak semua pandangan mengarah pada orang yang baru saja masuk. Pertama kali melihatnya, perasaanku langsung tak karuan. Jantungku berdegup kencang.

"Papa!"

Laki-laki setengah baya itu berjalan mendekat dengan tatapan menelisik kami satu persatu. Pandangannya menusuk, menyorot penuh kebencian.

"Jadi ini, sumber dari semua masalah?" ucap Ayah Adit sambil menatapku tajam. Aku langsung terdiam kaku.

"Pa! Jangan bicara gitu."

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang