Part Z

678 38 13
                                    

Aku berjalan melewati jalanan yang tampak asri. Di kanan kiri jalan terdapat bangunan yang lumayan mewah dengan dominasi warna putih. Tempatnya sangat nyaman karena terdapat di daerah pegunungan. Aku melangkah menuju tempat yang tadi sempat ku tanyakan kepada petugas di sana.

Akhirnya, aku sampai di depan sebuah bangunan di ujung jalan. Kukatakan ini adalah ujung jalan karena memang tidak ada jalan lagi setelah ini. Hanya ada tembok tinggi yang mengelilingi area dengan luas sekitar sepuluh ribu meter persegi ini. Ya, ini adalah tempat dimana Iqbal menjalani penyembuhan.

Berbekal informasi yang kudapatkan dari Adit, aku membulatkan niat untuk mengunjungi Iqbal dengan harapan bisa mengurangi rasa stres yang cowok itu alami. Aku yakin Iqbal sampai seperti ini karena terlalu memikirkan kesalahannya. Padahal jauh dari dalam hatiku, aku sudah memaafkan Iqbal.

Aku memasuki ruangan di antara beberapa ruangan dengan tampilan sama. Aku mengedarkan mata mencari Iqbal. Hingga akhirnya pandanganku menemukan cowok itu sedang duduk di depan sebuah akuarium. Dia memandangi ikan di dalamnya, tanpa melakukan apapun.

Ku dekati Iqbal diam-diam dan perlahan mendudukan diri di sampingnya.

"Ikannya bagus yah."

Iqbal menoleh seketika. Dia tampak terkejut, namun sesaat setelah itu, ekspresinya berubah seakan tidak terjadi apa-apa.

Iqbal tertawa sinis. "Entah sudah berapa kali gue berkhayal lo ada di sini, Rif. Padahal ini masih pagi."

Aku terkejut. "Lo ngekhayalin gue?"

Iqbal mengangguk lemah. Namun sedetik kemudian, cowok itu langsung menatap tajam ke arahku. "Lo asli?!"

Aku mengangguk.

"Rifki?! Lo disini?!"

"Iya. Ini gue, Bal. Lo apa kabar?" Aku tersenyum pada cowok itu. Tanpa ku duga, Iqbal memelukku sangat erat. Aku membalas pelukannya.

Belum ada lima detik kami berpelukan, Iqbal dengan cepat mendorong tubuhku. Aku dibuat terkejut oleh apa yang Iqbal lakukan. Cowok itu bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan mundur.

"Enggak. Lo nggak boleh di sini. Lo nggak pantes ketemu sama gue."

Aku turut bangkit. "Lo ngomong apa sih, Bal. Gue pengen ketemu lo!"

"Nggak. Gue nggak pantes. Gue lebih baik mati daripada harus ngeliat lo menderita karena ulah gue." Iqbal terus melangkah mundur.

"Gue baik-baik aja. Nggak ada yang perlu lo sesalin." Aku mendekati Iqbal. "Lo liat kan, gue nggapapa?"

Iqbal berhenti melangkah mundur. Dia memperhatikanku dengan seksama. Aku ikut berhenti melangkah guna memberikan Iqbal kesempatan memperhatikanku. Namun tanpa kuduga, Iqbal mendadak berlutut dan memeluk kakiku.

"Gue minta maaf, Rif." Iqbal berkata sambil diiringi suara tangisan yang amat jelas. "Gue bodoh! Gue nyakitin orang yang paling gue cintai!"

Aku terpaku mendengar ucapan Iqbal. Apa sebesar itu rasa yang Iqbal miliki untukku?

Dengan cepat, aku ikut berlutut dan memeluk Iqbal erat. "Gue udah maafin lo, Bal. Lo jangan kayak gini. Ini nyiksa diri lo. Gue nggak mau lo kayak gini."

"Tapi- gue udah bertindak keterlaluan. Gue ngehancurin hidup lo dan hidup kakak gue," ucap Iqbal di sela pelukan kami. "Dengan semua yang udah gue lakuin, rasanya gue lebih baik mati."

"Ssttt! Gue baik-baik aja. Lo nggak seharusnya ngomong gitu. Ini semua udah jalannya."

"Tapi, Rif, lo dapet masalah gara-gara gue."

LingkupWhere stories live. Discover now