Part B

1.1K 55 9
                                    

Ardi membawa motornya masuk. Aku mengikutinya. Cowok itu dengan cepat mengambil wadah yang akan digunakan untuk menampung oli bekas. Setelah itu, ia melihat bagian bawah kendaraannya untuk mengetahui kunci apa yang ia perlukan guna membuka baut tap oli mesinnya. Ardi mengambil kunci ring 12 yang ada di rak kunci.

Awalnya aku fokus memperhatikan Ardi yang dengan cekatan mengganti oli mesin motornya. Namun setelah oli hitam mengucur dari bawah motor itu, aku sadar kalau tujuan utamaku masuk ke sini adalah Adit. Kenapa bisa aku melupakan hal sepenting itu?!

Aku menoleh ke samping kananku. Dapat aku lihat Adit sedang memasang karburator pada motor Vega R biru. Dari posisi samping, aku bisa melihatnya dengan telaten merangkai setiap bagian, mengencangkan baut, dan akhirnya memasang cover. Aku bak terhipnotis akan pesona lelaki itu. Apalagi saat ia terfokus pada pekerjaannya. Sangat macho pikirku. Entah mengapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang.

"Ini oli bekasnya dikemanain, Mas?"

Aku tersadar dari lamunanku saat Ardi tiba-tiba bersuara. Degup jantungku berdetak lebih cepat saat aku merasa sedang tertangkap basah memperhatikan Adit. Padahal Ardi hanya bertanya seperti itu.

"Taruh situ aja. Nanti biar gue yang buang." jawab Adit sambil mencoba menyalakan motor hasil servisannya.

"Oke," jawab Ardi.

Motor yang diservis Adit sudah siap. Lelaki itu bergerak mengeluarkan motor itu dari dalam bengkel. Setelah itu, ia kembali ke tempat tadi untuk membereskan beberapa kunci yang tergeletak di bike lift.

"Baru pulang sekolah?" tanya Adit tiba-tiba.

"Iya, Bang," jawab Ardi sambil mengencangkan penutup oli mesin motornya. Aku ingin menjawab namun kalah cepat darinya. 

"Kelas berapa?"

"Kelas dua, Bang," jawabku. Jangan sampai aku keduluan lagi.

Adit hanya manggut-manggut.

"Abang udah lama kerja di sini?" tanyaku.

Adit tampak berpikir. "Sekitar dua tahunan."

"Ohh. Lumayan lama juga yah, Bang."

"Iya."

Aku kehabisan pembahasan. Otakku tiba-tiba blank. Tidak ada satupun ide pembicaraan yang bisa untuk aku ucapkan saat ini.

"Makasih ya, Bang," ucap Ardi saat sudah menyelesaikan pekerjaannya mengganti oli. Lah? Cepet banget?

"Oh, iya. Sama-sama."

Ardi bergerak mengeluarkan sepeda motornya. Setelah itu, ia menuju kasir untuk membayar biaya oli yang ia gunakan. Mau tak mau aku juga harus pamitan sama abang ganteng ini. "Makasih ya, Bang."

"Iya, Dek. Sama-sama."

Akhirnya aku dan Ardi meninggalkan bengkel itu. Rasanya agak berat meninggalkan Bang Adit. Tapi mau bagaimana lagi? Masa iya aku mau di sana terus?

***

Pukul setengah delapan malam aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Iqbal.

"Ganteng." Aku tersenyum melihat tampilan diriku sendiri. Kira-kira aku dan Iqbal mau ngapain yah? Mendadak aku deg-degan.

Pikiranku sudah kemana-mana. Sepanjang hari ini entah sudah berapa kali aku membayangkan akan nanania dengan Iqbal. Tapi dengan role apa aku juga masih bingung. Aku ngga mau jadi pihak penerima, namun aku juga ragu kalau Iqbal mau untuk dimasuki. Au ah. Ikuti alurnya saja.

Aku bergerak keluar kamar. Sebelum membuka pintu kamar, aku sempatkan untuk membenarkan posisi adikku yang tiba-tiba mengeras. Ini pasti gara-gara membayangkan yang iya-iya bersama Iqbal.

LingkupWhere stories live. Discover now