Chapter 2

54.5K 5.2K 676
                                    

"ketika aku mengejar seseorang, seharusnya aku tersadar bahwa akan ada seseorang yang mengejarku, dan yang harus ku lakukan adalah menoleh kebelakang, bukan tetap lari".
----

Namaku Zahra firdaus, kata ayah, beliau menamaiku Zahra karena beliau pernah melihat salah satu bunga yang indah di sebuah taman, dan beliau selalu bertanya bagaimana keindahan bunga dari surga, makanya beliau menamaiku Zahra firdaus, yang artinya bunga dari surga. beliau berharap agar aku bisa menjadi wanita yang benar benar indah untuk seseorang kelak.
Aku mulai tumbuh di dunia Kepesantrenan sejak kelas 1 madrasah Tsanawiyah. 3 tahun yang memuakkan, aku benar benar tidak betah di pesantren selama itu, aku sangat introvert, tidak memiliki banyak teman, lebih sering menyendiri dan membaca buku.

Sampai pada titik dimana aku sadar, bahwa ini adalah duniaku, ustadzah Rima bilang padaku, dunia pesantren adalah dunia paling indah, karena gak semua orang diizinkan untuk memasukinya.

Aku mulai bergaul dan memiliki banyak teman, dan aku memutuskan untuk melanjutkan ke jenjang madrasah Aliyah, berharap menjadi lebih baik disana.
"Akhirnya liburan juga,” ucap Dewi sambil membereskan lemari nya. Hari ini adalah hari pengambilan raport dan sekaligus liburan untuk kami, hari yang paling di nanti nanti kan semua santri kecuali aku.

Karena aku berasal dari Kalimantan,dan tiket pesawat mahal, aku pun tidak ingin menyusahkan kedua orang tua ku, jadi aku memutuskan 2 Minggu kedepan aku tetap tinggal di asrama. Mungkin sendirian dan hanyabdi temani para ustadzah. Karena semua santri akan pulang. Jadi aku seperti menjaga asrama bersama ustadzah.

"Jangan lupa jam 08.00 kita udah harus di lapangan!" Seorang pengurus berteriak. Aku berdecak.

"Ini sudah jam 07.45 dan dia belom juga pakai seragam," kataku lirih.

Terkadang beberapa pengurus memang memuakkan, dia menyuruh seluruh santri tertib sedangkan dia sendiri melanggar. Tetapi pengurus selalu benar, jadi kita harus tetap mematuhinya.
Tet.. tet...

Bel asrama berbunyi.

"Wahid (satu)..." Teriak pengurus bagian keamanan.

Biasanya 10 menit sebelum apel di mulai asrama kita harus sudah sepi, makanya jika ada santri yang terlambat sampai hitungan ‘asyaroh (sepuluh)’ maka akan terkena hukuman.

Aku segera berlari menuju tangga. Perlu kalian ketahui, asrama ku berada di lantai 2. Jadi, ketika kami menggunakan sepatu kami harus menuruni tangga terlebih dahulu.
"Nyari apa ndri?" Tanya ku melihat Indri kebingungan.

"Kaus kaki ku aku lupa bawa nih, kalau mau naik pasti nanti di catat" jawab Indri. Untung aku membawa 2 pasang kaus kaki.

"Pake punyaku aja" kataku sambil menyodorkan kaus kaki, karena terburu-buru, aku tidak sengaja mengambil dua pasang kaus kaki
"Udah ayo cepet!" Aku meletakkan kaus kaki ku di tangan Indri.

Aku berlari dengan Indri menuju madrasah.

Aku memilih barisan paling belakang, alasannya aku tidak suka di depan karena terlalu kelihatan. Kalau di tengah terlalu sempit dan banyak halangan untuk melihat ke arah santri putra, astaghfirullahaladzim.
Intinya, bagiku tempat ternyaman untuk berbaris adalah belakang.

Setelah pembukaan dan lain sebagainya, sekarang waktunya pembacaan rangking. Aku gak berharap banyak soal rangking. Karena waktu Mts aku hanya sekali mendapat rangking 3 besar. Itu pun rangking 3.

Jadi walaupun di MA (madrasah Aliyah) aku belajar lebih giat, aku tidak ingin berharap banyak.

"Kelas IPA 4. Rangking 1 Zahra firdaus"

Sorak Sorai teman teman ku saat mendengar namaku, dan langsung mendorong dorongku untuk maju ke depan. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Barusan aku tidak salah dengar, kan?

Aku menerima bingkisan coklat dari pak kepala sekolah. aku melihat teman teman tersenyum padaku, tapi aku tidak menemukan keberadaan kak Farhan, ah sudahlah.

Setelah selesai berfoto akhirnya aku kembali ke barisan.

Teman teman menyelamatiku atas keberhasilan ku, aku sangat senang dan tidak sabar untuk mengabari ayah ibuku. Setelah selesai di umumkan akhirnya saat nya kembali ke kelas masing masing untuk pengambilan raport.

"Eh ma, bentar ya,kamu naik duluan aja, aku mau ke kamar mandi,” kataku sambil menitipkan bingkisanku padanya.

Aku berlari ke arah toilet.
"Aduh bisa bisanya lepas," aku berjongkok untuk membenahi tali sepatuku.
"Mempertahankan itu lebih sulit dari pada memulai,” kata seseorang yang membuatku mendongak. Sepatu hitam mengilap itu sudah berada tepat di depan ku.

"Hah?" Aku mengerutkan kening ketika aku mendapati ustadz Ridwan berdiri di sana.
"Pertahankan rangkingmu," katanya lalu pergi meninggalkanku.

****

2 Minggu bersama para ustadzah membuat ku tau kebiasaan-kebiasaan mereka. Mereka adalah ustadzah yang hebat, rajin mengaji dan sendiko dawuh (selalu menurut dengan perkataan kyai).

Berbeda denganku yang malas-malasan saat liburan. Aku mengambil ponsel ku berniat untuk main game. Saat liburan, memang santri yang berada di pondok di perbolehkan untuk memegang ponsel pribadi, selain untuk menghubungi orang tua, juga untuk berkabar dengan teman teman.

Tring..

Notifikasi baru Facebook.

"Ridwan Maulana Al Kamil meminta pertemanan kepada anda"

Aku membelalakkan mata lalu memencet profil pemilik nama itu. Ustadz Ridwan?! Aku langsung menerima nya, selain karena tidak enak, aku berfikir mungkin ustadz Ridwan mengirim permintaan teman ke semua muridnya agar akrab.

Selain tampan, ustadz Ridwan juga berjiwa muda. Apalagi jarak umur nya hanya beda 5 tahun denganku,jadi wajar saja mungkin ustadz Ridwan menganggap kami sebagai adik nya.

Aku melihat postingan baru milik kak Farhan.

"Hah?!" Ada foto perempuan berkerudung panjang cantik sekali. Aku melihat komentar komentarnya, rata-rata mereka mengatakan kata Cie. Mungkin itu pacar kak Farhan, toh mjstahil juga orang seperti kak Farhan tidak memiliki pacar.

Tapi, mana mungkin kak Farhan yang aku kenal baik dan Sholeh itu berpacaran.
Bagaimana perasaan Rahma ya? Aku melihat postingannya lagi, aku mengezom ke arah perempuan di sebelahnya, perempuan ini cantik, mungkin ini seleranya kak Farhan, feminim, kalem, mungkin hatinya juga lembut, dilihat dari penampilan nya saja sudah menarik, apalagi memilikinya. Aku menghela nafas.

*****

Akhirnya 2 Minggu terlewati dengan cepat, saatnya kembali ke kegiatan lama. Satu persatu santri pulang ke asrama, ada yang dengan muka bahagia, ada juga sebaliknya. Aku sudah mengalami masa tidak betah selama 3 tahun, jadi sekarang aku sudah sangat betah dan sangat cinta dengan pesantren ku.

"Makasih udah jagain lemariku," kata Rahma sambil membuka lemarinya. Dia terlihat bahagia, tidak ada sedikitpun kesedihan.

"Ma, kamu lihat postingan nya kak Farhan?" Tanyaku sambil mengambil camilan yang di bawa Rahma. Rahma mengangguk.

"Kamu kok biasa aja?" Tanyaku lagi.
"Buat apa kita sedih karna seseorang, lagian aku juga cuman kagum sama kak Farhan, gak berniat memiliki juga," jawabnya, membuatku sedikit terkejut.

Harusnya aku juga memiliki sikap seperti itu, tapi kenapa setiap aku melihat kak Farhan aku selalu ingin memiliki kak Farhan, meskipun aku gak pernah memiliki keberanian untuk itu.

"Kenapa Ra? Kok ngelamun?" Tanya Rahma sambil memasukkan baju bajunya. Aku menggeleng. "Ciee baju baru nih" kataku mengalihkan sambil membuka buka isi koper Rahma. Rahma hanya tertawa.
"Eh habis ini beli gorengan yuk, katanya Deket lapangan ada yang buka kantin baru," ajaknya.

"Lapangan mana?" Tanyaku. Jadi di pesantren kami ada 4 lapangan, lapangan milik madrasah ibtidaiyah, lapangan milik madrasah Tsanawiyah, lapangan milik madrasah Aliyah, dan yang paling besar adalah lapangan utama.

Lapangan utama di gunakan untuk acara gabungan MI, Mts, dan MA. Seperti acara sholawat nabi saat maulid nabi. Biasanya lapangan utama yang di pakai untuk itu.
"Lapangan utama woi, sekalian modus" jawab Rahma Ngadi ngadi. Aku menjitak kepala Rahma.
"Jangan Ngadi ngadi lah" kataku sambil tertawa.

*****

"Mbak, nasi pecel dua, sama minumnya es jeruk dua" kataku memesan kepada mbak kantin. Kantin baru ini lumayan baru tapi sudah bagus, ada tempat duduk untuk makan, ada kolam yang banyak ikannya.
"Liat tu tinggal pilih pangeran!" Kata Rahma, walaupun dia begitu, aku yakin dia pasti tidak mudah tertarik dengan lawan jenis. Terkadang kita seperti ini hanya untuk bercanda saja.

"Aku yang paling ganteng pokoknya," kataku asal sambil melihat lihat ikan.
"Emang harus ganteng ya?" Tiba tiba seseorang membuatku terkejut. Hampir saja aku tercebur di kolam ikan.

“Eh, ustadz Ridwan, mau beli apa, tadz?” Tanya Rahma sok akrab.

"Mau beli es teh" jawab ustadz Ridwan singkat. Kenapa sih ustadz ini ada dimana mana, sudah seperti cenayang. Setahuku, Asrama Mahasiswa putra berada jauh dari kantin ini. Lalu kenaoa bisa-bisa nya ustadz Ridwan berada disini.

"Ustadz gak kuliah?" Tanya Rahma basa basi, karena suasana nya jadi sunyi. Ustadz Ridwan menggeleng sambil mengambil kursi duduk lalu menyedot es teh yang di pesannya.

"Kuliah saya libur kalau hari Sabtu Minggu" jelasnya sembari mengeluarkan ponselnya. Rahma mengangguk angguk. Apaan sih sok akrab banget si Rahma, pake nanya nanya lagi.

"Mbak yang persen nasi pecel,” teriak mbak kantin aku dan Rahma segera mengambil pesanan kami.

"Ma, Susana nya jadi aneh kalo ada ustadz Ridwan" bisikku pada Rahma. Rahma menyenggolku.

"Aneh apanya, seru lah makan di temenin cogan," kata Rahma menjulurkan lidah padaku. Cogan si cogan, tapi ya jangan ustadz juga dong. Kakel kek, atau temen seangkatan kan lebih seru bisa di ajak bercanda. Kalau Ustadz, yang ada malah canggung seperti ini.

Jarak kursi ku dengan kursi ustadz Ridwan hanya sekitar satu setengah meter, ustadz Ridwan nampak menikmati permainan bola yang dimainkan oleh santri putra. Aku dan Rahma kembali fokus makan.

"Ustadz lempar bolanya!" Teriak salah satu santri dari arah lapangan. Ustadz Ridwan mengangguk lalu menendang bola ke arah lapangan.

Benar benar ustadz berjiwa muda.

"Damagenyaaa" kata Rahma, aku menyenggol Rahma, Rahma memang anak yang tidak suka Menjaga Image. Dia lebu sering mengatakan apa adanya, seperti barusan ini. Aku yang berasa di sebelahnya justru yang malu. Ustadz Ridwan menole ke arah Rahma lalu tersenyum tipis.
"Eh aku di senyumin rasa,” katanya heboh. Aku menghela nafas panjang.

"Udah pulang yuk, aku dah kenyang" kataku sambil meneguk es jeruk. Rahma menggeleng.

"Nanti dulu," kata Rahma. Padahal nasi di piringnya sudah mulai habis, dan nasi di piringku juga sudah habis, es jerukku pun tinggal menunggu es batunya cair.

"Mbak saya mau bayar" ustadz Ridwan akhirnya membayar ke mbak kantin lalu pergi meninggalkan ku dan Rahma. Aku menghela nafas lega.

"Akhirnya pergi juga, kamu bisa gak si sedikit jaim gitu lho, biar gak dikira kagum kagum banget, ya emang si ustadz Ridwan emang kece, tapi ya kamu tu... "

"Udah deh gak usah berisik, lagian ustadz Ridwan juga seneng kok, bikin orang seneng tu dapet pahala!" Rahma menyela perkataan ku dengan mulut yang di penuhi es batu.
"Dah ah, aku mau bayar,” kataku berjalan menuju kasir.

"Mbak nasi pecel dua, es jeruk dua"
"Loh tadi sudah di bayarin"
"Hah?"
"Sama ustadz yang tadi beli es teh," kata mbak kantin.

Aku mengerjapkan mata. Ustadz Ridwan bayarin? Aku jadi merasa memiliki hutang kepadanya. 

"Kamu adiknya ustadz tadi? Salamin ya buat ustadz nya, ganteng,” kata mbak kantin. Aku hanya mengangguk angguk, lalu tersenyum tipis.

"Habis berapa Ra?" Tanya Rahma sambil mengeluarkan uangnya dari kantong.

"Aku yang traktiir, gak usah bayar,” jawabku lalu menggandeng Rahma pulang ke asrama. Jika aku bertemu ustadz Ridwan lagi, aku akan membayar.

*****

"Fa'ala, Fa'alaa, Fa'aluuu, Fa'alat, Fa'alatan, Fa'alnaa, Fa'alta, Fa'altuma, Fa'altum, Fa'alti, Fa'altuma, Fa'altunna, Fa'altu, Fa'alnaa,"
Kami menghafalkan tashrif lughowi untuk fi'il madhi sambil di nyanyikan. Tashrif lughowi adalah perubahan bentuk dari satu ke banyak. Contohnya fa'ala berarti dia laki laki satu yang sudah mengerjakan sesuatu. Sedangkan fi'il madhi adalah fi'il yang sudah di lakukan(lampau).

"Oke lanjut mudhori' " perintah ustadz Fikar.

"Yaf'ulu, yaf'ulani, yaf'uluna, taf'ulu, taf'ulaani, yaf'ulna, taf'uluu, taf'ulaani, taf'uluuna,taf'uluuna, taf'ulaani, yaf'ulna, af'uluu, naf'uluu"
Sebelum memulai pelajaran, ustadz Fikar selalu menyuruh kami untuk menghafal beberapa tashrif lalu membacakannya sambil menutup mata.

Menurutku, ustadz Fikar adalah ustadz paling pandai setelah kepala sekolah, hihi. Beliau hampir ke Mekkah karena ke pandaian nya dalam ilmu nahwu dan Sharaf, tetapi beliau memilih untuk mengabdi di pesantren ini.

Di pesantren ku ini, kebanyakan memang ustadz dan ustadzah nyaadalah mahasiswa dan mahasiswi yang mengabdi. Jadi mereka berkuliah sambil mengabdi. Ada yang baru semester 2 ada yang semester 6 bahkan ada yang sudah di jenjang S2.

Tidak sedikit juga pasangan ustadz dan ustadzah yang menikah disini. Jadi, jangan heran kalau kadang santri disini sedikit menganggap ustadz dan ustadzah seperti teman sendiri.

"Ayo mbak intan dibaca tashrif nya," kata pak Fikar. Intan berdiri lalu membaca tashrif yang di inginkan pak Fikar. Banyak ustadzah yang sudah di tolak pak Fikar, mungkin karena itu pak Fikar belum menikah, padahal umurnya hampir kepala tiga.

Ketika suatu hari ada salah satu santri bertanya, "pak Fikar kapan ketemu jodohnya?" Pak Fikar tersenyum sambil berkata, "saya sudah bertemu sebelum saya lahir di lauhul Mahfudz" jelas semua santri terdiam.

Pak Fikar memang sangat jago dalam berdebat, apalagi tentang agama.

"Baik, hayya nakhtatim dirosatana bi qiroatil hamdalah (mari kita akhiri pelajaran kita dengan membaca hamdalah)" kata ustadz Fikar sambil menutup buku dan absennya.
"Alhamdulillahirobbil alamiin," jawab kami serempak.

"Minggu depan jangan lupa menghafal kata kerja dan tashrifannya, wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" pamit ustadz Fikar yang di jawab oleh kami.

Akhirnya, bisa tidur juga. Kalian harus tau,kenapa anak pondok identik dengan tidur di kelas? Karena malamnya mereka selalu bertahajud, hihi.

Kadang aku juga bingung kenapa aku selalu mengantuk, bahkan saat aku sedang haid pun tetep mengantuk dan tidur di kelas. Ustadz ustadzah di pondok juga selalu memaklumi dengan mengizinkan tidur di jam pelajaran selama 10 menit.
Jadi, kami tidak perlu khawatir untuk dimarahi. Walaupun begitu kami harus tetap tahu diri.

"Raa,ajari aku yang ini doang belum paham" Irene mendatangi mejaku yang hendak aku jadikan kasur untuk tidur. Irene menyodorkan buku matematika nya dan menunjukkan bagian yang belum ia pahami.

"Oh yang ini,” aku mengambil pena lalu menjelaskan kepada Irene. Sejak pengumuman rangking satu adalah aku, aku jadi seperti patokan di kelas ini, menjadi sumber contekan. Padahal tidak semua pelajaran aku bisa.

"Ini terus tinggal x nya kamu ganti angka aja" kelasku, Irene mengangguk angguk tanda paham. "Udah paham?" Tanya ku. Irene mengangguk, "makasih ya Ra, nanti aku tanya lagi" katanya lalu kembali ke bangkunya.

****

"Menurutmu semester depan siapa yang akan dipilih jadi ketua OSIS?" Kata Rahma sambil menggigit pena nya. Aku menggeleng sambil membenarkan kerudung.

"Pinjem kaca dong," ucapku pada Rani.
Rani menyodorkan kaca kepadaku. Rani adalah orang paling rajin membawa kaca ke sekolah, dia memasukkannya kedalam buku pelajaran agar saat razia tidak ketahuan. Meskipun aku anggota OSIS, tapi tetap saja aku harus mendukung temanku. Namun, Kadang-kadang aku menegur mereka yang berlebihan dalam hal berdandan.

"Oke,” aku mengambil potongan kaca itu. Sambil membenarkan kerudungku. Aku melihat wajahku yang sangat kucel karena baru saja bangun tidur.

"Ini jamkos kah?" Tanyaku karena tidak melihat tanda tanda guru masuk kelas.
“Gak tau, mungkin" jawab Rahma sambil menaruh kepalanya di atas meja. Kelas kami bagaikan hotel bintang 5.
"Makasih ran," aku menyodorkan potongan kaca itu lagi.

"aku tanyain sama guru yang ada di kantor ya," kataku pada teman teman. Teman teman mengangguk walaupun aku tau mereka tidak setuju. Setelah pengumuman kejuaraan kelas, aku pun juga di angkat menjadi ketua kelas. Meskipun aku sudah menolak, tetapi ustadzah Siti, wali kelasku tetap mengamanahiku.

"Assalamualaikum," aku mengetuk pintu kantor.

"Waalaikumussalam eh Zahra, ada apa?" Terlihat ustadzah Dina menyapaku.
"Saya Zahra dari kelas 10 IPA 4 ingin bertanya apakah ada ustadzah fina?" Tanyaku. Kebetulan ini jam pelajaran matematika dan yang mengajar adalah ustadzah fina.

"Belum datang nak, mungkin sebentar lagi di tunggu" jawab ustadzah Dina. Aku mengangguk lalu mengucap salam sebelum keluar dari kantor guru.

"Eh Zahra?" Ketika aku baru berjalan di koridor dan ingin kembali ke kelas suara seseorang membuatku berhenti berjalan.

"Eh iya ustadz kemarin kan bayarin makan saya sama Rahma itu, saya bayar berapa tadz harganya? Saya gak mau ada hutang, beneran tadz. Terus kenapa ustadz bayarin saya sama Rahma? saya jadi gak enak beneran tadz, padahal ustadz kan gak ikut makan dan cuman beli es teh. Saya ganti sekarang, ya, tadz?" spontan aku mengatakan apa yang aku pikirkan tentang ustadz Ridwan saat itu.

Ustadz ridwan terkekeh.

“kamu mau nagih utang atau bayar utang?" Tanyanya masih terkekeh. Aku menunduk. Memang kebiasaan buruk ketika aku grogi, cara bicaraku akan menjad sangat cepat.
"Ya intinya saya mau bayar, berapa tadz?” tanyaku sambil merogoh saku. Eh, uangnya mana ya?  Astaghfirullah, Uangnya aku tinggal di kelas. Aku tetap berpura pura merogoh saku.


"Gak usah di bayar, itung itung sedekah," kata ustadz Ridwan lalu pergi masuk ke dalam kantor. Hah? Sedekah? Emangnya aku fakir miskin?

Lagi-lagi aku bertemu Ustadz Ridwan. Aku menghela nafas lalu berjalan kembali ke kelas.

*****
HASIL REVISI GUYS🤗

Dia Bukan Hanya Ustadzku ✓[SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now