Chapter 13

31.4K 3.6K 119
                                    

"akan ada seseorang yang mengejarmu, mengemis cintamu, bahkan rela mati untukmu, tapi anehnya, kamu tetap tidak menyukainya,"
-

Aku melipat baju-baju yang baru saja ku ambil dari jemuran. Kini aku telah menginjak bangku kelas 12 yang artinya aku harus fokus belajar. Semester lalu, saat kak Farhan wisuda, Rahma sempat berfoto dengannya dan memberi bunga sebagai hadiah wisuda.

Perlu kalian ketahui, kak Farhan sekarang sudah menjadi ustadz disini. Aku sudah yakin dari awal karena totalitasnya dalam mengabdikan dirinya kepada pesantren kami.

Perasaanku ikut bahagia ketika melihat sahabatku juga bahagia. Walaupun aku tidak tahu apakah kak Farhan sudah putus dengan perempuan cantik yang pernah dia pasang fotonya di beranda facebooknya.

Rahma nekat mengeprint foto mereka berdua dan di tempel di dalam lemarinya. Padahal, ia tahu bahwa ada penggeledahan setiap bulannya. Tapi apa peduli, kami sudah menjadi kakak paling besar disini. Hahaha.

Walaupun begitu, kita masih sedikit taat pada peraturan.
Aku memasukkan beberapa bajuku kedalam lemariku. Lemariku sudah tak sebersih dulu,sekarang sudah penuh dengan coretan tanda tangan anak-anak seolah aku akan berpisah dengan mereka.

"Zahra," panggil seseorang yang membuatku menoleh. Ia berjalan ke arahku lalu menyodorkan ponsel. Aku mengerutkan kening.

"Kakakmu telepon," katanya seolah tau pertanyaanku. Aku mengangguk lalu mengambil ponsel darinya. Hari ini hari Ahad. Jadi kami di perbolehkan menghubungi keluarga kami atau sebaliknya.

"Assalamualaikum," sapaku pada orang di seberang. Orang itu berdehem.

"Waalaikumussalam, ini aku Ra," suara itu terdengar tidak asing. Aku hampir memekik kaget karena menyadari itu suara Fadil.

"Eh, Dil, ngapain nelpon ke hp asrama?" Tanyaku berbisik. Ponsel asrama di sediakan untuk menelpon keluarga bukan menelpon sembarang orang, apalagi laki laki.

"Aku mau nanya, kamu besok ambil jurusan apa?" Tanyanya santai. Aku menghela nafas.

"Gak usah pake nelpon juga kali," kataku memperingatkan. Aku mendengar dia tertawa. Lebaran tahun kemarin, aku memang tidak pulang ke Kalimantan. Selain karena biaya, nenek dan kakek juga memintaku untuk liburan bersama dan menemaninya.

"Emang kenapa?" Tanya nya seolah tidak mengerti.

"Yaa, kamu tau aku santri cewek, mana boleh telponan sama cowok begini?be te we dapet nomer ini dari mana?!" Tanya ku bertubi tubi.

"Santai kali, dari ibumu lah, aku tadi habis nganter bakwan ke rumahmu," jawabnya masih dengan nada santai.

"Pertanyaanku belum di jawab Ra," katanya mengingatkan tujuan utama menelpon.

"Emm, emang kamu beneran mau kuliah di Jogja?" Tanyaku. Dia berdehem tanda mengiyakan.

"Yaudin daftar aja di universitas yang kamu suka, ngapain pake nanya-nanya aku, aku aja gak tau, belum mikir, ini masih mikir munaqosyah," kataku panjang.

"Ahahahha, masih cerwet kayak pas kecil. Yaudah, Minggu depan aku telpon lagi," katanya yang membuatku berdecak kesal.

"Mau ganti nomer," kataku agar terhindar dari gangguan Fadil.

Dia Bukan Hanya Ustadzku ✓[SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now