Pemakaman

9.7K 742 10
                                    

Sejak Nek Ipah sakit sampai meninggal dunia, tak ada sedikit pun kabar dari anaknya. Sehingga warga berinisiatif untuk langsung mengurus jenazahnya, agar bisa segera dikebumikan.

Jenazah Nek Ipah dimandikan di dekat sumur, belakang rumahnya. Pak RT melarang anak-anak untuk mendekat atau sekadar melihat proses pemandian jenazah. Jadi, kami hanya berkumpul di lapangan.

Setelah dimandikan, jenazah Nek Ipah dibawa kembali ke rumahnya, untuk dikafani. Dari kejauhan, kulihat beberapa warga sedang membawa keranda mayat. Lalu, meletakannya di depan rumah Nek Ipah.

Tak lama, terlihat beberapa warga ke luar dari rumah Nek Ipah. Mereka menggotong jenazah Nek Ipah yang sudah dikafani. Kemudian meletakannya di atas keranda.

"Mau ikut gak, Dan?" tanya Indra.

"Ke mana?" balasku.

"Ke makam."

Jujur aku takut saat mendengar kata 'makam'. Yang ada dipikiranku pasti seram dan banyak hantu.

"Mau gak?" tanya Indra lagi, mengacaukan imajinasiku.

"Mau deh," balasku terpaksa. Tak mungkin bilang takut, pasti akan jadi bahan ledekan baru olehnya.

Warga mulai menggotong keranda itu, menjauhi rumah Nek Ipah. Kami pun membuntuti dari belakang. Tak mau terlalu dekat.

Setelah berjalan cukup jauh, kami pun tiba di masjid yang letaknya tak jauh dari pemakaman. Kali ini, aku, Indra, Fahrul dan teman-teman lainnya ikut masuk ke dalam masjid. Di saat warga sedang menyolatkan jenazah, kami hanya berdiam diri di pelataran masjid.

Setelah itu, jenazah dibawa ke areal pemakaman. Ini pertama kalinya aku masuk ke area pemakaman, sebelumnya tidak pernah berani walaupun di siang hari.

Kuedarkan pandangan, melihat area pemakaman yang dipenuhi pohon kamboja dan satu pohon beringin tepat di tengah-tengah. Aku berjalan, mendekati salah satu pohon kamboja. Lalu, mengambil beberapa helai bunga yang terjatuh di tanah. Bunganya berwarna putih dengan harum yang khas.

Kuhampiri teman-teman yang sedang duduk di dekat pohon beringin. Sambil membawa beberapa helai bunga kamboja di genggaman.

"Ih, Dani! Kenapa bawa begituan?" teriak Indra saat melihatku mendekat.

"Iya, buang gih! Gak boleh tau ambil begituan," timpal Fahrul.

Kuturuti permintaan mereka, membuang bunga yang ada di genggaman. Aku masih belum mengerti alasan mereka berdua tidak suka dengan bunga kamboja.

Aku pun bergabung, duduk di bawah pohon beringin. Dari kejauhan terlihat kalau prosesi pemakaman Nek Ipah masih belum selesai. Anehnya mataku malah fokus ke tempat lain, di sudut pemakaman, dekat pohon kamboja.

Kulihat ada seseorang yang berdiri menatap ke arah makam Nek Ipah. Sepertinya seorang perempuan. Terlihat dari rambutnya panjang, mengenakan baju serba hitam, lengkap dengan payung hitam. Sejak tadi kuperhatkan, orang itu tak bergerak sama sekali.

"Liat apa sih, Dan? Serius amat daritadi." Suara Fahrul sedikit mengagetkanku.

Aku menoleh ke arah Fahrul.

"Itu, coba liat ke sana!" Kutunjuk ke pohon kamboja tadi, ternyata orangnya sudah tidak ada.

"Apaan?" tanya Fahrul.

"Tadi ada orang pake baju item, berdiri di sana."

"Mana? Gak ada," balas Fahrul.

"Tadi ada, Rul! Beneran."

"Terus sekarang ke mana?"

"Gak tau."

"Ya mungkin itu orang mau liat pemakaman Nek Ipah."

"Kayanya gak. Orang barusan dia cuman berdiri doang, gak gerak sama sekali," elakku.

"Tau nih si Dani, ngaco banget," ledek Indra.

Apa mungkin aku salah lihat? Padahal jelas sekali aku melihat orang itu berdiri di sana. Namun, baru kualihkan pandangan dia sudah menghilang.

"Kayanya udah selesai tuh. Yuk pulang!" ajak Indra.

Kulihat orang-orang sudah mulai membubarkan diri. Kami pun menunggu di pintu masuk pemakaman. Namun rasa penasaranku masih belum tuntas. Kembali melihat ke pohon kamboja tadi.

"Ada! Tuh dia muncul lagi," teriakku, sambil menunjuk ke arah pohon itu.

"Mana? Orang gak ada apa-apa di sana," sahut Fahrul.

Padahal dia masih berdiri di sana. Kenapa Fahrul bilang tidak ada?

"Setan kali, hayoloh," ucap Indra menakutiku. Aku memalingkan muka setelah mendengar ucapannya itu.

Orang tua kami sudah terlihat berjalan ke luar dari pemakaman. Kami pun menghampirinya, lalu berjalan beriringan menuju rumah. Sebelum sampai di ujung area pemakaman, aku kembali menengok ke pohon kamboja tadi. Benar, aku tidak salah lihat. Dia masih berdiri di sana. Kali ini posisinya membelakangiku.

"Itu orang daritadi ngapain, Ya?" pikirku.

Aneh, dia seperti mendengar ucapanku. Perlahan-lahan, kepalanya bergerak. Berputar 180 derajat, menengok ke arahku. Di saat itulah, aku baru tersadar kalau dia bukan manusia. Beruntung sekali posisinya jauh, sehingga wajahnya tak terlihat. Kalau tidak malam ini aku sudah pasti mimpi buruk.  Kumemalingkan wajah, lalu berjalan mendekati Indra.

"Dra, beneran ternyata," ucapku.

"Apa?" Indra nampak bingung.

"Itu, yang tadi di makam ternyata bukan manusia"

"Tau dari mana?"

"Tadi dia muncul lagi, terus kepalanya muter," jelasku.

"Nah loh, hati-hati Dan. Dia bisa ikut sampe rumah." Indra malah menakut-nakutiku.

"Jangan gitu dong, Dra," balasku.

Indra  tertawa, lalu berlari mendahului rombongan. Aku mengikutinya dari berlakang bersama Fahrul.

Kami bertiga sudah sampai lebih dulu di dekat lapangan. Namun, memilih untuk menghentikan langkah, menunggu warga lain yang lewat. Ya, kami masih takut melewati bekas rumah Nek Ipah.

Tak lama, abah dah ibu berjalan mendekat. Aku pun kembali berjalan di samping mereka sampai rumah. Saat melewati rumah Nek Ipah, entah kenapa ada perasaan sedih yang muncul. Kelak aku akan merindukan cerita-ceritanya.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang