Sukma

7K 632 9
                                    

Setelah kejadian yang menimpa Sari, warga pun berembuk. Memutuskan apakah akan tetap melakukan pengajian nanti malam. Bagaimana pun teror Nek Ipah kali ini, mengancam nyawa Sari.

Keluarga besar Indra meminta untuk ditunda sementara, sampai kondisi Sari kembali seperti semula. Sementara itu Pak Ustad serta beberapa warga lain, ingin tetap mengadakan pengajian. Belum ada keputusan yang diambil.

Di sisi lain, Bu Ani masih terpukul dan terus menangis. Tak sanggup melihat anak perempuan satu-satunya dalam kondisi tak sadarakan diri. Ya, Sari masih belum juga sadar, semenjak Nek Ipah dikeluarkan dari raganya.

Pak RT memanggil dokter dari klinik terdekat untuk memeriksa keadaan Sari. Dokter bilang, semuanya masih normal hanya suhu tubuhnya memang agak tinggi. Dokter menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit, agar bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Mendengar ucapan dokter, Bu Ani memaksa untuk segera membawa Sari ke rumah sakit. Namun, Pak Naryo, suaminya malah melarang.

"Kenapa dilarang, Dra?" tanyaku.

"Bapak bilang, tunggu Om Jamal," balas Indra. Pak Jamal ini adalah adik kandung Pak Naryo.

Tak berselang lama, Pak Jamal datang bersama seorang lelaki tua berpakaian serba hitam. Panggil saja Mbah Warto. Ia langsung masuk ke dalam rumah. Tanpa sedikit pun menyapa warga yang sedang berkumpul di luar.

Entah apa yang terjadi di dalam rumah. Namun secara tiba-tiba Pak RT memutuskan untuk tidak melakukan pengajian. Pak Ustad yang mendengar pengumuman itu pun langsung marah. Terjadi perdebatan yang cukup alot. Sampai akhirnya Mbah Warto pun ke luar.

Mbah Warto mengatakan kalau nyawa Sari terancam. Sukmanya telah diambil oleh Nek Ipah dan disembunyikan entah di mana. Kini Sari hanya raga tanpa jiwa. Sehingga jin-jin lain bisa saja bebas masuk ke dalam tubuhnya.

Mbah Warto lah yang menyarankan kepada Pak RT agar pengajian tidak digelar. Namun, Pak Ustad tetap bersikukuh untuk menggelar pengajian. Kembali terjadi perdebatan, kini antara Pak Ustad dengan Mbah Warto.

Hingga akhirnya ada sebuah kesepakatan. Bagi yang ingin tetap melakukan pengajian, bisa dilakukan di masjid. Tidak di lapangan. Karena nanti malam, Pak RT, Mbah Warto dan beberapa orang lain akan melakukan pencarian sukma.

*

Menjelang magrib, abah pergi ke masjid untuk pengajian. Ia menyuruhku untuk tidak ke luar rumah. Sementara itu, sebagian warga yang lain mulai mencari keberadaan sukma Sari.

Mbah Warto berpesan, jika mendengan suara anak perempuan menangis segera berikan kabar. Bisa jadi di sekitar itulah sukma Sari berada.

Sekitar pukul delapan malam, aku sudah masuk ke kamar. Sementara itu, Akbar masih asik menonton televisi di ruang tengah. Saat sedang membaringkan tubuh di atas tempat tidur, tiba-tiba ....

Tuk! Tuk!

Terdengar suara ketukan di jendela.

"Dani! Dani!" panggil seseorang dari balik jendela. Suaranya mirip sekali Indra.

"Dani, ke luar dulu bentar," ucapnya lagi.

Kuberanikan diri, berjalan mendekati jendela lalu mengintip sedikit. Ternyata benar, Indra yang sedang berdiri di balik jendela.

"Bentar, Dra!" sahutku seraya berlari ke arah pintu depan.

"Mau ke mana, Dan?" tanya Akbar.

"Abah udah bulanb jangan ke luar juga," imbuhnya.

"Ke samping doang, ada Indra," balasku lalu ke luar dan berjalan menunju samping rumah.

Indra masih berdiri di sana, dekat pohon mangga. Luar biasa sekali, ia sudah tidak takut ke luar malam-malam. Mana berdiri di dekat pohon mangga pula.

"Udah berani ke luar malem, Dra?" tanyaku. Namun Indra tidak menjawabnya, ia hanya tersenyum saja. Pandangannya terus tertuju pada pucuk pohon mangga.

"Liat apaan, Dra?" tanyaku lagi, ikut menengadah. Tidak ada apa-apa di atas.

"Tuh, liat deh!" Indra menunjuk puncak pohon mangga.

"Hah?" Aku kebingungan, karena tidak bisa melihat apa-apa.

"Dia ada di sana!" ucapnya datar.

"Dia siapa?" tanyaku. Namun tak ada jawaban. Saat kutengok ke samping, ternyata Indra sudah menghilang.

"Dra?"panggilku sambil celingak-celinguk. Pada saat itulah aku baru tersadar, kalau itu bukanlah Indra. Sontak aku berlari masuk me dalam rumah.

"Kenapa, Dan?" tanya Akbar heran.

"Bukan Indra ternyata," balasku.

"Lah, bukan Indra gimana?"

"Tadinya ada Indra, terus baru ngomong bentar. Eh dia ngilang."

"Dibilang jangan ke luar, bandel sih."

"Iya, nonton TV aja ah."

Ada yang berubah dalam diriku, rasa takutku tidak seperti dulu. Apa aku sudah mulai terbiasa? Apalagi sosok tadi sama sekali tidak terlihat menyeramkan, sangat mirip sekali dengan Indra.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang