Cerita Nek Ipah

6.8K 643 16
                                    

Gambaran demi gambaran terus muncul silih berganti. Puncaknya, Nek Ipah berhadapan dengan Si Wanita Hitam itu di kamar mandi. Ekspresi Nek Ipah sepertinya sangat kaget, sehingga membuat dirinya jatuh terpeleset.

Si Wanita Hitam terus mengikuti Nek Ipah sampai ke rumah sakit. Setiap malam, ia selalu ada di dekat tempat tidur Nek Ipah. Terus menatap Nek Ipah dengan sorot mata yang tajam dan berwarna merah menyala.

Semua gambarannya tiba-tiba menghilang. "Loh, kok hilang Nek?" tanyaku.

"Nenek tidak mau melihatkan proses kematian yang menyakitkan padamu, Nak."

Aku sudah mempersiapkan sebuah pertanyaan. "Kenapa nenek malah menakutiku dan warga lain?" tanyaku. "Kenapa tidak menakuti Pak Jamal saja."

"Nenek sudah pernah bilang, terpaksa menakutimu, tapi kamu tidak mau mendengarkan," ucap Nek Ipah.

"Terpaksa?"

"Nanti nenek ceritakan, sekarang kamu pergi main dulu, tuh temanmu datang."

"Ah Nek!" Nek Ipah pun menghilang.

Beberapa detik kemudian, Indra memanggilku dari balik jendela. "Dani maen yuk," ajaknya.

Walaupun kita sudah saling memaafkan, tapi baru kali ini ia mengajakku bermain lagi.

"Maen ke mana?" tanyaku.

"Biasa ke lapangan, maen gundu."

"Ooo, bentar."

Aku mengambil kaleng berisi kelereng di sudut kamar, lalu berlari menghampiri Indra. Tidak disangka ternyata di sana ada Fahrul. Ia sepertinya masih belum berani berbicara denganku.

"Eh ada Fahrul," sapaku.

"Ayo," ajak Fahrul, lalu berlari ke lapangan.

Pertemanan kami sudah mulai kembali seperti semula. Fahrul pun sudah mulai bisa tersenyum, walaupun raut wajahnya masih terlihat sedih. Kehilangan adik satu-satu memang sangat menyakitkan.

Selagi bermain aku sesekali melihat ke arah rumah Nek Ipah. Berharap ia ada disana menyaksikan kami bermain dengan gembira.

_______

"Abah, nanti ada pengajian buat Nek Ipah?" tanyaku.

"Insya Allah, dua hari lagi, ada pengajian 40 harian Nek Ipah di masjid."

"Adek boleh ikut?"

"Ya boleh aja."

Aku pergi ke kamar untuk tidur, sambil berharap Nek Ipah muncul di mimpiku. Bagiamanapun aku masih menunggu jawabannya atas pertanyaanku tadi siang.

Nek Ipah muncul dalam mimpiku dengan wujud menyeramkan sekali dan mengejarku. "Hua!" teriakku, lalu terbangun.

"Hehehehe." Nek Ipah tertawa dan sudah ada di hadapanku dengan wajah biasa. "Kenapa, Nak? Kamu takut?" tanyanya.

Jantungku masih berdebar sangat kencang. "Kenapa nenek pakai wujud itu!" protesku, kesal.

"Kamu sama saja dengan anak kecil itu, dia sampai kejang-kejang saking takutnya melihat nenek, hehehehe," balasnya.

"Aduh, Nek. Jangan ketawa." Aku tetap saja membenci suara tawa Nek Ipah. "Anak kecil itu Dirga maksudnya, Nek?" tanyaku.

"Iya, dia sudah lumayan lama. Tepatnya sehari setelah pemakaman."

Nek Ipah mulai bercerita. Pulang dari pemakaman, Si Wanita Hitam itu mengikutiku sampai rumah. Dia mencoba masuk ke dalam kamar, tapi tidak bisa. Malam harinya dia mencoba melakukan sesuatu padaku tapi tetap tidak bisa.

Malam hari setelah pemakaman, aku pergi ke kamar mandi. Ada tiupan angin dingin ke wajahku, pada saat membuka pintu belakang. Itu ulah Si Wanita Hitam, dia mencoba menabrakku, agar bisa menempel atau masuk ke tubuhku, ternyata usahanya gagal.

Ketika di kamar mandi, Nek Ipah sudah berusaha memperingatkanku, untuk segera masuk rumah. Caranya? Dengan mengucurkan air kendi di lapangan dan menimbulkan bau kapur barus.

Beruntung caranya berhasil. Sebelum Wanita Hitam itu mengunciku di kamar mandi, aku sudah keluar duluan. Kesal, wanita itu membanting pintu kamar mandi, lalu bersenandung untuk menunjukan kehadirannya.

"Oh, aku kira itu ulah Wanita Berambut Panjang di atas kamar mandi, yang pernah Dirga ceritakan," ucapku.

"Bukan Nak, itu ulahnya."

Dirga, yang merupakan anak buah dari Si Wanita Hitam diutus untuk mendekatiku, tepatnya mengelabuhiku. Dirga terus mengikutiku, mencari celah di mana ia bisa dekat denganku.

Ingat kejadian ketika aku bermain petak umpet?

Ternyata Dirga yang menepuk pundakku dan ikut berhitung. Nek Ipah melihat Dirga sudah sangat dekat denganku. Kemudian berusaha mengusir Dirga, menggunakan wujud yang paling menyeramkan.

Dirga ketakutan. Ia bersembunyi dengan menempel di tubuhku. Nek Ipah tidak bisa berbuat apa-apa, selain terpaksa harus menakutiku juga.

Aku pun pingsan, di saat itulah Dirga masuk ke dalam tubuhku. Ia berteriak-teriak dan kejang-kejang, melihat wujud yang menyeramkan dari Nek Ipah. Dirga pun pergi, lalu melaporkan kejadian itu kepada si Wanita Hitam.

Malam berikutnya ketika aku pulang sendirian melewati jalan dekat saluran air. Si Wanita Hitam itu sudah menungguku di depan rumah Pak Jamal.

Sayangnya, Pak Karya tiba-tiba muncul, membuat semua rencananya gagal. Ia mengikuti kami dari belakang, menunggu waktu yang pas untuk menyerangku.

Nek Ipah yang tau akan kejadian itu pun memberikan peringatan dengan membunyikan suara dari dalam rumahnya, agar aku segera pulang.

"Anak kecil jangan ke luar malam," ucapnya. Ya, aku ingat ucapan Nek Ipah itu. Ternyata itu sebuah peringatan.

Wanita Hitam itu pun mengamuk di rumahku, dengan menggedor-gedor pintu belakang dan memukul langit-langit rumah. Berusaha masuk ke dalam rumah tapi tidak bisa. Ia juga yang menyamar jadi wanita berambut panjang, yang kulihat di jendela kamar pada malam itu.

Nek Ipah melihat Indra sedang berjalan menuju pohon mangga. Tanpa sadar Indra berjalan mendekati Wanita Hitam itu. Lalu, Nek Ipah menghalangi jalannya, agar Indra tidak melewati pohon itu. Indra pun berlari ke arah pintu belakang.

"Kenapa Nenek menakutinya sampai seperti itu?" tanyaku.

"Nenek agak kesal dengannya," jawabnya.

"Kesal kenapa?"

"Dia pernah mengejek anak nenek diculik Wewe Gombel, sekarang malah menyuruh kamu pulang sendirian," jelasnya.

"Hahahaha." Aku pun tertawa, mendengar penjelasan itu.

BERSAMBUNG

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang