Sahabat

6.9K 599 28
                                    

Kedekatanku dengan Dirga membuat pertemanan dengan Indra dan Fahrul semakin renggang. Aku jarang sekali bermain dengan mereka, lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar, bermain bersama Dirga.

Abah mulai curiga dengan perubahan sikapku itu, lalu mengajakku berbicara empat mata.

"Dek, adek kenapa?" tanya Abah.

"Gak kenapa-napa abah," balasku.

"Kok jarang maen sama Indra dan Fahrul. Apa lagi marahan?"

"Enggak abah, emang pengen main sendiri aja di kamar."

"Abah pernah denger adek ketawa-ketawa sama ngomong sendiri di kamar. Itu lagi main sama siapa?"

"Ih, dibilang sendirian," balasku kesal.

Khawatir denga kondisiku, abah malam memberikan kardus berisi mainanku kepada anak temannya. Berharap aku bisa kembali bermain dengan Indra dan Fahrul.

Aku marah besar, ketika mengetahui hal itu. Kemudian pergi ke kamar abah dan mengacak-acak pakaiannya. Karena perbuatanku itu, abah menghukumku dikurung  di dalam gudang.

*

"Dirga! Dirga!" panggilku.

"Ke mana kamu?" sambungku.

Aku terus memanggilnya, untuk menemaniku selama di dalam gudang yang gelap. Sebuah pertanyaan muncul di benakku. Apa yang terjadi dengannya? Semenjak gambaran itu, Dirga belum muncul lagi.

Gudangnya gelap, sepertinya ayah sengaja tidak menyalakan lampunya. Walaupun ukurannya luas, sekitar 4x10 meter, tapi hawanya pengap ditambah bau kulit sapi dan domba.

Aku sama sekali tidak takut, suasananya tidak seseram tempat tinggal Dirga. Malah bermain di antara tumpukan kulit domba. Melompat-lompat layaknya di atas tempat tidut, empuk sekali. Ketika lelah, aku pun tertidur di atasnya.

Adzan magrib berkumandang, tapi pintu masih belum juga dibuka.

"Abah jahat banget ih," gumamku.

Menjelang Isya, baru pintu itu dibuka. Ternyata abah lupa memberitahu ibu, kalau aku ada di dalam gudang. Abah malah pergi ke luar rumah. Pas pulang baru sadar kalau aku masih ada di dalam gudang.

Ibu marah besar. Karena kesalahan abah itu, ia harus mencariku sampai keliling kampung.

"Kamu juga, kenapa gak ngomong atau gedor pintu gitu. Mana ibu tau kamu ada di dalem." Sudah dikurung, aku pun masih dimarahi ibu.

"Sana mandi! Badannya bau domba gitu," perintah Ibu.

"Temenin, Bu," ucapku manja.

"Suruh abah aja yang nemenin."

"Mandi sendiri aja sana!" Abah menolak.

"Buang air kecil malam-malam aja sudah takut, apalagi mandi," ucapku dalam hati.

Aku terpaksa pergi mandi sendiri, mengisi ember kecil dengan air, lalu mandi di dekat pintu belakang. Jika ada sesuatu yang menampakan diri, kan bisa langsung masuk rumah. Namun, semua yang aku khawatirkan tidak terjadi, malam ini berlalu tanpa gangguan. Hanya saja, aku masih mengharapkan kehadiran Dirga.

*

Pagi hari, aku sudah bersiap-siap pergi ke sekolah. Sekolah SD-ku, letaknya tidak terlalu jauh dari rumah, kurang lebih hanya berjarak 200 meter.

Posisi sekolahku berada di samping jalan. Di sebrangnya ada lapangan berbentuk segitiga, tempat biasaku bermain atau olahraga. Di samping kanan ada sebuah taman kanak-kanan. Tidak jauh dari sana ada sebuah rumah sakit besar.

TEROR NEK IPAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang